Sabtu, 26 Maret 2011

May I Love You, Although I’m not Funny? [cerpen]

.
“Siapa Raja yang paling kuaaat?!!”
“Haaaaaaa??”
“Raja Fir’aun, ya?”
“Bukaaan..”
“Raja.. rajaa.. rajaa.. setan?”
“Hoe? Hahahaha salah”
“Raja Abraham!”
“Salaah...”
“Hadeeehh Raja Gopal deh, Yooo..”
“BHUAHAHAHAHA!”
“Salaaah, hahaha gimana? Nyerah nih?”
“Iyadeeh..”
“Jawabannya.. Raajaa.. MANGKUBUMI! Tuh, bumi aja bisa dipangkuu.. weheheheee”
“Oohh, siampruull.. hahaha”
“Kirain apaaann..”
Pasti disetiap kelas ada satu murid yang menjadi biang ramai, kan?. Mungkin rangkaian dialog diatas barusan cukup bisa menggambarkan bahwa kelas tersebut memiliki satu ‘biang ricuh’. Memang tidak semuanya menganggap begitu, tetapi setidaknya gadis yang duduk menunduk di bangku depan itu memilih menganggapnya begitu.
Shilla menggerutu geram. Tebakan ke-4. Sekali lagi ‘si pengganggu’ itu berani melanjutkan teka-teki tak masuk akalnya, ia bersumpah akan menendang ‘si pengganggu’ itu sampai ke Jepang sana, biar kena tsunami sekalian, pikir Shilla anarkis.
“Nah sekarang—“
“Oh masih dilanjutin..” Shilla membanting bolpoinnya tertahan. Dia berbalik, melihat teman sebangkunya “De, suruh diem, kenapa!”
“Hahahaa.. begooo. Iya, ya! Kok gue nggak kepiki-“
“Deeaaa...”
“Eeeh! Kenapa, Shill?”
“Lo, kok malah dengerin si pengganggu itu sih, De.. suruh diem laah. Lo kan ketua kelaas...”
“Tapi tebak-tebakannya kan se—O- oke! Oke!”
“HEEI KALIAN DIEM DOONG—“
Sukurin Lo. Batin Shilla senang. Kerumunan dipojok kelas yang sedari tadi ramai itu terdiam seketika. Perlahan bubar dengan ekspresi beragam, meninggalkan satu murid yang memang penyebab kerumunan tadi terbentuk. Shilla yang menyaksikan adegan pembubaran itu menyeringai, matanya tidak sengaja menangkap ‘si pengganggu’—begitu julukannya bagi Shilla—yang masih berdiri cengo’. Shilla memandangnya datar lalu kembali menghadap depan, berkutat dengan bolpoin dan soal-soal fisika didepannya.
“Nah, selesai kan?” Kata Dea bangga.
“Ah, Elu kalau nggak gue bilangin nggak gerak, De.. malah ikut cekikikan nggak jelas” Cibir Shilla.
“Hehehe, maaf. Khilaf. Eh, Lo udah ngerjain sampe nomer berapa? Gila cepet banget..” Cerocos Dea yang langsung cepat-cepat mengerjakan soal-soal fisika serupa. Shilla senyum cengo’.
Kelas mendadak hening sekarang. Memang kelas sedang mengalami jam kosong, tapi bukan berarti tidak ada tugas yang menemani mereka. Jadi sudah seharusnya begini. Diam dan mengerjakan tugas. Sesekali ada suara anak-anak berbicara walau tidak sampai mengganggu yang lain. Ada juga suara anak menghitung dan lain-lain. Yang pasti ada satu cowok yang sekarang duduk dengan alis bertaut diiringi tawa tertahan teman sebangkunya. Akhirnya cowok tadi menarik buku fisikanya, menatap buku itu bosan.
***
Langit masih terlihat cerah walau tidak sepanas tadi. Murid-murid yang memang saatnya pulang sekolah keluar dengan serempak. Sebagian dari mereka menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di kantin dulu, ada juga uang masih setia mendiami kelas seperti mereka. Shilla dan Dea.
“Yang ini udah urut, De”
“Oh, iya bentar” Kata Dea mempercepat gerakannya “Nah, udah mana Shill?” Shilla memberikan tumpukan  kertas ditangannya “Oke, sekarang temenin bentar naruh ini ke mejanya Bu Elena” Shilla mengangguk. Mereka berdua berjalan keluar meninggalkan kelas yang sepi. Saat satu kaki baru saja melangkah keluar kelas, ada sapaan yang sukses membuat jantung keduanya melompat secara bersamaan.
“Bu Ketu! Ashilla!”
“Ampir-nah loh!” Latah Dea yang panik dengan kertasnya. Shilla yang terkejut Cuma melebarkan matanya.
“Nyariiss.. kalau ini semua jatuh, lo kudu ngurutin semua ini, Yooo..” Kata Dea yang entah harus bersyukur karena kertasnya jatuh atau harus kesal dikagetkan seperti tadi.
“Sorry, Sorry.. hehehe”
“Ada apa sih, Rio?” Tanya Dea. Shilla tak bersuara, ia memasang tampang datar.
“Anu, gue minta maaf soal yang tadi kayanya selama ini gue nggak pernah minta maaf deh ke Bu Ketu gara-gara sering bikin kelas rame..” Kata Rio santai. Dea mengangguk ramah.
“Nggak apa, Yo. Haha, abis teka-teki kamu juga ajaib-ajaib banget.. gue suka kok. Santai aja lagi.. lagipul-Aw!” Shilla menusuk pinggang Dea dengan sengaja “Oh! Maksudnya.. jangan diulangin lagi deh, Yo.. mainnya pas istirahat aja kan lebih seru, ntar gue ikutan!” lanjut Dea sedikit gagap.
“Hahaha, oke deh Bu Ketu! Oh iya, Ashilla gue minta maaf juga ya..” Tanggap Rio.
“Ngapain minta maaf ama gue? Dasar pengganggu” Gerutu Shilla  “Yuk, De.. ke kantir Bu Elena” Shilla menarik lengan Dea tiba-tiba. Dea menoleh ke belakang tersenyum minta maaf atas perilaku temannya. Rio tersenyum miring, melambai. Tidak mengerti maksud Shilla tadi sebenarnya.
Daridulu Shilla memang tidak menyukai Rio. Menurutnya Rio adalah ‘si pengganggu’ yang selalu bikin kelas ramai dengan semua tebak-tebakannya yang tidak masuk akal. Bahkan Shilla heran dengan semua teman-temannya yang selalu tertawa saat Rio menyebutkan jawaban sebenarnya. Padahal menurut Shilla tidak ada unsur ‘lucu’nya sama sekali.
Shilla dan Dea berhenti didepan ruang guru, saat Dea untuk kesekian kalinya menanyakan alasan sikap Shilla tadi.
“Lo itu kenapa sih sama Rio? Jutek amat..” Cibir Dea remeh.
“Gue kan undah bolak-balik bilang. Gue nggak suka sama si pengganggu itu” Shilla memutar bola matanya “Udah ah, masuk sana..”
“Eeh, ya sabar dong.. buru-buru amat” Dea tertawa lalu memasuki ruang guru.
***
Hari berikutnya Rio memang tidak pernah membuat kelas ramai lagi. Karena ia tidak mau membuat ketua kelasnya—atau teman ketua kelasnya?—cepat tua karena sering memarahinya. Dan juga karena tidak ada jam kosong akhir-akhir ini.
Bu Elena, guru fisika mereka baru saja menyebutkan nilai tertinggi dan terendah ulangan harian yang dilaksanakan minggu kemarin. Shilla melongo. Namanya disebut sebagai peraih nilai tertinggi itu, tetapi bukan itu yang membuatnya melongo, selama ini ia cukup sering mendapat nilai yang bagus. tetapi ia melongo karena ia ditemani orang lain, orang yang meraih nilai serupa dengan nilainya. Rio.
Rio?? Si pengganggu itu? Kenapa bisa? Bukankah yang ada di otaknya Cuma ‘tebakan bodoh’ semua?. Satu lagi yang membuatnya tidak suka dengan Rio. Gayanya  yang tidak terlihat pintar tetapi bisa menyamainya seperti ini, membuatnya kesal.
Shilla menoleh ke belakang, menjangkau tempat Rio duduk. Rio tersenyum miring sambil menaik-turunkan alisnya secara jenaka, Shilla memanyunkan bibirnya lalu kembali menghadap depan, ia menangkap satu kaliamat dari rangkaian kalimat Dea yang daritadi diabaikannya.
“Wah, dia diam-diam menghanyutkan, Shill!”
Dan Shilla tidak suka itu.
***
Shilla membaca novel didepannya dengan serius. Tempat favoritenya sejak awal bersekolah disini, apalagi saat menemukan novel idamannya ada ditempat ini. Yap. Perpustakaan. Dimana dia tidak akan mendengar suara orang tertawa terbahak-bahak atau pertanyaan-pertanyaan jayus dari seseorang Ha-Ha.
Shilla semakin larut dalam ketegangan cerita dari novel itu, kalau saja tidak ada yang memanggilnya dengan berbisik.
“Hey, Ashilla..”
“Haa?” Jawab Shilla melambat sambil mendongak “Ah, elo” Shilla menyesal harus mendongak dan malah melihat tampang Rio yang seolah tidak pernah merasa punya dosa. Rio duduk di kursi didepannya.
“Ada yang mau aku tanyain nih, kebetulan ketemu kamu”
“Hngg” Tanggap Shilla tidak terlalu peduli, yaah walaupun otaknya sedang beradu, melanjutkan fokus pada novelnya atau menunggu apa yang akan ditanyakan ‘si pengganggu’ itu padanya.
“Kamu nggak suka ya, sama aku?”
“Hn?” Sedikit kaget akhirnya Shilla berhenti pada satu kata di novel itu.
“Kalau iya, kenapa?” Tantang Shill, mendesis keras, ia mendongak sekilas lalu kembali berkutat dengan novelnya.
“Woo!” Rio bersuara agak keras. Gila nih cewek, batin Rio. “Emang kenapa gitu?”
“Emang penting gitu buat kamu?” Shilla tanpa mendongak.
“Ee, penting sih. Soalnya aku nggak suka cari musuh, apalagi cewek haha. Jadi daripada diem-dieman kan mending diomongin gitu, siapa tahu aku bakal berubah jadi lebih baik, dan kita bisa temenan..” Bisik Rio antusias.
‘tik-tik-tik-ngiiing’
Yang terdengar hanya suara detik jam dan kipas angin. Detik berikutnya Shilla baru saja mengerti jawaban Rio tadi, membuatnya ingin tertawa sampai Rio mewek. Rio? Ingin berteman dengannya? Mimpi banget nih cowok.
“Alasannya” Shilla menarik nafas, masih melihati novelnya “karena kamu selalu ganggu aku, kaya sekarang. Aku lagi baca dan kamu malah dateng dan nanya-nanya kaya’ gini, bikin BT ngerti nggak?” Kata Shilla masih menelusuri barisan kalimat dihadapannya.
“Hmm” Rio berpikir sejenak, lalu memperhatikan cewek didepannya yang sedang membaca buku dengan serius. Kalau memang selama ini dia selalu mengganggu Shilla secara sengaja atau tidak sengaja.. “baiklah aku nggak akan ganggu kamu lagi, maaf ya, Shill..” Rio berdiri dari kursinya dan meninggalkan Shilla.
Shilla mengangkat wajahnya. Sedikit terkejut. Tapi lalu ia tersenyum senang mendengar jawaban Rio tadi. Baguslah kalau dia nggak bakal ganggu gue lagi, batinnya. Shilla melirik jam tangannya. Oh! Sudah saatnya dia pulang.
See you tomorrow Mr. Holmes! Mr. Watson!” Shilla mencium novel ditangannya lalu beranjak mengembalikannya ke rak semula.
***
Rio menopang dagu. Bola matanya bergerak seiring larinya bola di lapangan sana. Merasa bosan dia merebahkan tubuhnya di bangku panjang yang sedari tadi dia duduki di tepi lapangan futsal ini. Ada yang hilang akhir-akhir ini. Sense of humournya. Belakangan ini dia menjadi enggan bercanda, merasa tidak enak hati kalau harus memberikan teka-teki andalannya seperti biasa.
Shilla. Mungkin karena rasa sungkannya pada teman sekelasnya yang satu itu. Ah, coba saja kalau dia punya sifar ‘tidak-peduli-pada-perkataan-orang-lain’.
“Woy! Kenape Lo, Yo?” Sapa Gabriel yang baru saja puas mencetak gol dalam latihan futsalnya. Rio yang renungannya langsung buyar mengganti posisinya menjadi duduk.
“Nggak tahu gue juga..” Jawab Rio acuh, sambil merebut botol mineral yang dipegang Gabriel semula. Gabriel mencibir.
“Udah deh, daripada bengong gitu, mending ikut main yuk. Sekali-sekali Olahraga kek, jangan main gitaaar mulu” Ajak Gabriel, Rio menyeringai.
“Nggak deh males, kapan-kapan aja” Rio berdiri dan memberikan botol mineral tadi ke arah Gabriel “Gue duluan ya, Yel..” Rio meraih ranselnya.
“Yaudah sono.. sono..” Canda Gabriel mengusir teman sebangkunya itu. Rio tertawa datar, lalu mulai berjalan keluar dari lapangan futsal yang memang indoor dan terpisah dari gedung sekolah ini.
Baru enam langkah didepan pintu keluar Rio menghentikan langkahnya. Mendadak dirinya mendapat wangsit. Sepertinya dia harus menghibur diri sendiri dengan mencari teka-teki baru deh. Yah, walaupun tidak bisa mengerjai teman-temannya setidaknya dia bisa tertawa sendiri dengan teka-teki barunya nanti. Ha-ha. Rio tertawa sendiri dan melanjutkan langkahnya agak cepat.
“Di perpus ada nggak, ya?” Gumam Rio. Kakinya memasuki area sekolah. Begitu sampai di perpustakaan, dia langsung menuju ke rak baggian ‘hiburan’. Di rak itu memang banyak buku komedi, tetapi ia tidak menemukan buku teka-teki seperti yang diinginkannya. Setelah mencari dengan teliti, akhirnya dia menemukan satu-satunya buku teka-teki yang ada disitu. “Hmm, terbitan lama, ya? Nggak apa deh.. gue belom pernah baca ini..” Pikir girang.
Rio memutuskan untuk meminjamnya saja daripada membacanya disini, lagipula dia agak jiper juga mengingat perpustakaan ini sangat sepi. Memang dia tidak melihat pengunjung lain disini, daripada dia harus tertawa ditemani makhluk la-.oh, baiklah jangan dilanjutkan karena Rio sudah berjalan cepat meninggalkan rak tadi.
Derap sepatu Rio berhenti seketika. Dia menggumam pelan. Ia mundur beberapa langkah untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Oh! Ternyata benar, ada Shilla disana membaca buku di kursi dan posisi yang sama seperti saat mereka bertemu beberapa hari yang lalu. Oh, jadi cewek itu sering kesini. Dia bukan hantu, kan?. Racau Rio dalam hati. Merasa otaknya sedang miring dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin ada hantu di sore hari.
Tidak tahu mengapa ada keinginan untuk menemui cewek itu. Rio duduk di kursi tepat didepan Shilla dengan keras secara sengaja, membuat Shilla terlonjak dan mendongak dengan mata yang dilebarkan, tatapan yang seolah ingin menelan bulat-bulat orang yang mengganggunya tadi mengecil bergantian dengan mulutnya yang melebar. Shilla melongo mendapati ‘si pengganggu’nya berulah lagi.
“Mata itu. Ekspresinya saat melebarkan mata! Hahaha” Rio membatin senang.susah payah ia menahan tawa. Ada apa dengan Rio?. Shilla sewot.
“Ngapain kamu kesini? Mau gangguin aku lagi?” Tanya Shilla ketus sambil membuang mukanya ke novel bacaannya.
“Nggaak.. aku kan udah bilang aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Aku udah nggak pernah bikin kelas rusuh kan?” Kata Rio sambil membuka buku teka-teki yang semula ingin dipinjamnya tapi berubah rencana ingin membacanya disini dulu. Lagipula ada alasan lain yang ‘belum mau’ disadari Rio soal penundaan kepulangannya.
“Lalu barusan kau pikir bukan mengganggu? Dasar bodoh” Cibir Shilla tanpa suara. Menit berikutnya Shilla menjadi tidak fokus dengan apa yang dibacanya. Diam-diam ia melirik Rio yang sedang mengkikik sendiri. Halah, orang gila. Ejeknya lalu memutuskan untuk tidak mempedulikan Rio.
“Hihihi, bisa aja nih buku!” Kikik Rio ditengah keheningan perpustakaan. Shilla manyun, beberapa kali dia suka terganggu karena tawa Rio yang seka meledak tanpa aba-aba.
“Eh, Ashilla! Gue ada tebak-tebakan nih, jawab deh kalau bisa..” Celetuk Rio tiba-tiba.
“Haaa?” Shilla mengangkat wajahnya dan melebarkan matanya, membuat Rio cekikikan sendiri.
“Nih, jawab ya.. kentang apa yang disukain anak bayi?”
“Ha?” Shilla mengerjap. Tidak siap. “Ah, aku nggak mau jawab tebak-tebakan kamu..” Jawab Shilla sewot.
“Yaelaah.. coba jawab dulu deh!”
“Ck” Shilla berdecak, jujur kalau diingat-ingat sepertinya hanya dia satu-satunya anak dikelasnya yang belum pernah mendapat teka-teki dari Rio. Apalagi Shilla yang memang tidak hoby dengan sesuatu yang tidak masuk akal— tidak masuk akal menurutnya—itu tidak mengerti harus menjawab apa.
“Ayoo.. bisa jawab nggak? Ah, payah banget kamu..” Rio menaik-turunkan alisnya jail.
“Enak aja” Sergah Shilla “Bodoh amat lah, bubur kentang kali..”.
“Ah, saalaaahh..” Rio cengengesan mengejek.
Shilla mengerutkan kening “Boneka kentang?” jawab Shilla tidak yakin, ngapain juga dia jawab itu?.
“He? Hahaha salah..”.
Shilla merengut. menggaruk dahinya. Mencoba berpikir. Dia tidak mau melihat atau mendengar tawa puas Rio karena dia tidak berhasil menjawab teka-teki itu. Dia tidak suka itu. Oh, Pak Holmes, bantulah aku.
Jadi sekarang Shilla mengabaikan novel yang dibacanya. Terus memikirkan berbagai jawaban. Rio memperhatikan setiap ekspresi Shilla yang sering menggerutu tidak jelas. Apalagi part dimana Shilla melotot.
“Nyerah nggak?” Tanya Rio mengejek.
Shilla yang sedang menunduk mencari ide mendongak dengan kesal. Memandang Rio BT.
“Oh, itu tandanya udah nyerah ya?” Ejek Rio “Wah, beneran payah banget kamuu” Tambahnya.
“Emang jawabannya apa?” Tanya Shilla ketus.
“Mau tahu?”
“Haa-haa-haa.. menurutmuu?” Shilla tertawa datar.
“Jawabannyaa..” Rio menegakkan posisi duduknya “KENTANG tingtung tingtang ting tuuunggg~ HAHAHAHA” Sorak Rio sambil menampilakan wajah kocak.
Shilla mendelik tidak percaya. Jawabannya itu? ITU?.
“Kamu serius?”
“Yaiyalaah..” Sahut Rio diseka tawanya. Oh, sepertinya selera humornya kembali. Ia seperti hidup kembali.
Merasa cegek dan malu. Shilla menutup novelnya keras lalu berencana untuk cepat-cepat menghilang dari sini. “aku. Aku pulang duluan.” Pamit Shilla jutek lalu beranjak pergi satelah memasukkan novelnya ke rak semula. Tawa Rio berhenti mendadak.
“Lho, lho. Shill! Ashilla!” Panggil Rio yang langsung berdiri mengejar Shilla. “Kok langsung pulang gitu sih? Malu ya kamu gara-gara nggak bisa jawab. Hahaha cemeen..”
“Ha-ha-ha” Tawa Shilla datar “Aku merasa bodoh banget tau nggak mau nanggepin tebakan jayus kamu. Asal kamu tau aja menurut aku tebakan kamu tuh nggak logika dan nggak smart!” Cibir Shilla masih berjalan lurus. Saat sampai di meja petugas perpustakaan yang siap-siap akan menutup perpustakaan, Shilla tersenyum ramah, lalu mengambil bolpoin dan mulai menulis daftar hadir.
“Kamu, ya? Daritadi saya dengar tertawa saja. Untuk nggak ada pengunjung lain, kalau ada sudah saya usir kamu” Kata petugas perpustakaan pada Rio. Shilla yang sedang bertandatangan, mencibir tanpa suara.
“Hehehe. Maaf bu!” Tanggap Rio “Bu, saya pinjam ini..”
Shilla langsung keluar perpustakaan setelah sebelumnya pamit pada petugas perpustakaan, meninggalkan Rio yang sedang mengisi kertas tanda meminjam buku.
“Ashilla, tunggu!” Rio mempercepat tulisannya, tetapi Shilla menulikan telingannya sesaat.
Setelah agak jauh, barulah terdengar suara Rio yang menyusul dengan setengah berlari.
“Ashilla, aku mau jawab pendapat kamu yang tadi..”
“Hm,”
“Mungkin teka-teki aku memang pertanyaan bodoh yang nggak logika bagi kamu, tapi menurut aku itu yang dinamakan kreatif. Lihat aja, dengan kebodohannya yang kreatif teka-teki itu bisa buat aku dan orang-orang tertawa. Hebat kan?, yaa kecuali buat mereka yang memang nggak bisa ketawa sih. Biasanya yang nggak ikutan ketawa itu orang-orang depresi.. atau orang tempramental.. atau mungkin memang orangnya aja yang nggak bisa diajak bercanda, kaya’ seseorang..” Kata Rio panjang lebar sambil tersenyum miring, “Hahaha, aku pulang duluan deh. Maaf hari ini aku ganggu kamu. Oh, ya.. jangan suka nggerutu sama marah-marah.. bikin sakit jantung. Daa” Katanya lalu berlari lebih dulu.
Shilla berhenti berjalan. Terkejut dengan semua yang dikatakan Rio barusan. Benarkah dia tipe tempramental? Masa’ dia tidak bisa diajak bercanda? Trus itu beneran bisa bikin sakit jantung?. Jangan-jangan memang benar.
Masa’ sih Cuma dia yang tidak bisa tertawa mendengar jawaban Rio tadi?.
“Kentang ting tung tingtang tingtuuungg...” Eja Shilla pelan menirukan intonasi yang diucapkan Rio di perpustakaan tadi.
“Hmpph..” Shilla menahan tawa, dan akhirnya benar-benar tertawa walaupun tanpa suara. Kalau dipikir-pikir memang konyol banget, membayangkan Rio benar-benar melakukan hal itu pada seorang bayi. Hahahaha.
Pipi Shilla memanas saat ekspresi kocak Rio melintas. Matanya melebar.
“Yeee, kok jadi gini sih. Kok gue jadi inget-inget Rio. Waaah!” Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu mulai berjalan lagi walau sesekali tertawa tanpa alasan.
***
Dea mencoba menajamkan telinga dan matanya. Mencoba menemukan gerutuan dan ekspresi khas yang biasa ditampilkan teman disebelahnya bila hal ini terjadi.
“Lho, Shill.. Shill..” Colek Dea ditengah tepuk tangan dan berbagai sorakan yang sedang terjadi dikelasnya.
“Apa, De?” Shilla menoleh tanpa beban.
“Kok nggak ngomel? Atau minimal pasang tampang BT gitu?” Tanya Dea heran.
“Ha? Buat apa?”
“Kan. Kan. Kan. Si-Rio, ‘si pengganggu’ itu, ngalahin lo lagi di ulangan fisika ini..”
Ooh, iya ya? Nggak masalah sih, soalnya gue emang ngerasa ulangan kemaren nggak ada persiapan, malemnya nggak belajar ada kondangan gitu..hehehe” Jawab Shilla cengengesan.
“Ha?” Dea kaget “Hahahaa..” Tawa Dea janggal. Pasti ada sesuatu sama Shilla.
Tidak apa-apa kok, kalau Rio yang mengalahkan nilainya kali ini, tapi ulangan berikutnya, jangan harap deh. Lagipula Shilla hanya tidak ingin terkena sakit jantung atau cepat tua karena keseringan menggerutu.
Shilla menoleh ke belakang, ke tempat Rio yang sedang tersenyum lebar bersama teman sebangkunya. Shilla kembali menghadap depan, menggaruk telinganya saat merasakan jantungnya mulai berdetak tidak teratur. Ia teringat sesuatu.
“Jangan-jangan gue kena gejala sakit jantung?” Gumam Shilla sambil melotot bingung.
“Lo tadi ngomong apa, Shill?”
“Ha? Ah, eh, oh.. emm nggak.. lupain aja..” Kata Shilla terbata-bata, lalu beralih memperhatikan wajah teduh Bu Elena daripada tatapan bingung Dea.
***
Shilla membalik halaman terakhir dari novel yang dibacanya disusul cover belakang novel tersebut. Ia mengela nafas panjang dengan lega.
“Waah, akhirnya selesai jugaaa.. kereeenn..” Shilla memeluk novel yang beberapa hari ini selalu dia baca secara rutin setiap pulang sekolah. Hanya di perpustakaan ini. Shilla berhenti memeluk novel itu saat mendengar suara tidak asing menyapa telinganya.
“Kamu nggak apa kan, Shill?”
“Hng?” Shilla membuka matanya “Aa!! Y-ya, nggak apa lah.. maksud kamu apa?” Tanya Shilla tersinggung.
“Yaa aku kira kamu karena kelamaan jomblo jadi stress gituu.. buat menuhin obsesi jadinya kamu meluk-meluk tuh buku. Iya kan kamu jomblo kan?”
“Eeh! Apaan nih maksudnya, pake bawa-bawa jomblo-jomblo segala. Iya aku jomblo kenapa?” Shilla sewot “Kaya’ kamu laku aja..”
“Cih, sorry aja yak. Aku udah punya cewek yang aku suka..”
Shilla melebarkan matanya “Halaah, yang naksir kan kamunya, belum tentu juga ceweknya mau.. kan kalian belum pacaran. Sama aja itu namanya kamu jomblo..” Ejek Shilla, walau dalam hati iya panik tanpa sebab.
“Yaah, setidaknya aku pdkt’an dulu dong, ama dia.. sampe dia suka sam aku pokoknya.. wehehehe..”
“Ha-ha-ha” Shilla ketawa datar—atau ragu?.
Hening. Keduanya sama-sama diam. Mereka memang sering bertemu disini. Biasanya Shilla yang akan sibuk membaca dan Rio akan beralibi membaca sesuatu sambil sesekali memperhatikan ekspresi Shilla waktu membaca. Sekarang?
“Sekarang ngapain kamu kesini? Nggak mau ngasih tebak-tebakan lagi?” Celetuk Shilla memecah keheningan.
“Hahaaa, kamu kangen ya, aku kasih tebak-tebakan.. ketagihan kan kamu?”
Shilla mendelik saat menyadari celetukannya tadi. Ada kebenaran dalam tanggapan Rio. Rasanya seru juga menemukan jawaban-jawaban konyol dari teka-teki Rio.
“Enggak gitu jugaa..” Sangkal Shilla pelan.
“Hahahaha.. okedeh.. tapi jangan disini yok, di taman belakang sekolah aja gimana? Adem tahu..”
“Eng? Aku belum pernah kesana sih. Boleh deh..”
“Okee”
Shilla dan Rio mulai beranjak meninggalkan perpustakaan. Mereka berjalan menuju taman belakang. Ada pohon besar yang daunnya sesekali berguguran. Dibawah pohon itu ada bangku kayu yang melingkar. Dari sini bisa terlihat lapangan basket, dengan beberapa anak yang bermain-main basket dulu sebelum pulang ke rumah.
“Wah, bener, Yo. Sejuk banget. Kok aku baru tahu ya?” Shilla duduk di kursi kayu, diikuti Rio yang menghirup udara dan menghembuskannya keras.
“Hehehe, gimana nyaman kan?”
“Iyaa..” Shilla mengangguk.
“Oke. Sekarang aku punya tebak-tebakan.. siaapp?”
“Haa-haaa.. siap. Mau nggak mau sih.. hehe”
“Eeemm, kenapa Teletubies Cuma ada empat?” Tanya Rio bersemangat. Shilla mencibir.
“Jiaah, mainannya teletubies..”
“Udah jawab aja lah..”
“Ehehehe-ehehe.. kenapa ya? Karena..” Kata Shilla menggantung “Karena dananya nggak cukup kali buat bikin kostum tubies ke-5?” Lanjutnya. Ya ampun ini mah, ngarang abis namanya, pikir Shilla. Rio ngempet ketawa.
“Hmpphihihi, salaahh!!”
Berbagai jawaban asal coba diutarakan Shilla. Jawaban paling bodoh yang Shilla tahu pun ia utarakan, dan ternyata semuanyaa.. salah. Shilla mulai emosi sendiri.
“Trus apa doong?” Juteknya Shilla muncul.
“Soalnya.. kalo tujuh, ntar nyaingin SM*SH Weeee...”
Glek “Jiahahahaha, boyband naik daun itu? Hahahahaaaa.. bisa aja kamu, maah..”
Keduanya terbahak-bahak. Shilla tidak habis pikir gimana bisa Rio menyambungkan Teletubies dengan SM*SH. Ya ampun. Tawa mereka perlahan mereda. Rio tersenyum melihat langit sore. Shilla memegangi jantungnya. Ada yang aneh. Ada yang salah. Dia memegangi pipinya, lalu melihat jam tangannya.
“Em, Rio.. kayaknya aku pulang duluan deh”
“Eh?” Rio menoleh “Oh, yaudah. Hehehe hati-hatii..”
“Iyaa. Daaaa..”
Shilla berjalan sambil memegangi jantungnya. Jangan-jangan dia. Dia. Dia. Oh, memang akhir-akhir ini dia secara ajaib merasa nyaman dengan Rio. Tapi. Tapi. Tapi. Entahlah, Shilla memilih menunggu waktu yang menjawab dengan sendirinya. Sampai dirinya benar-benar yakin.
***
Beberapa hari ini Shilla tidak pergi ke perpustakaan lagi. Ia pun hanya sesekali ke taman belakang untuk merenung, tapi biasanya dia tidak akan bisa merenung karena disana sudah ada Rio yang mendahului. Jika sudah begitu, Shilla akan salah tingkah dan cepat-cepat pamit pergi. Sikap anehnya membuat Rio tidak enak hati, apakah cewek itu masih menganggapnya ‘si pengganggu’ yang harus ia jauhi?.
Hari ini saat pulang sekolah, akhirnya Shilla memilih membicarakan keanehannya akhir-akhir ini pada Dea saja. Selama ini Shilla tidak cerita apa-apa pada Dea, walaupun sebenarnya Dea sudah mengetahui ada sesuatu yang terjadi pada Shilla.
Setelah meminum jus Alpukatnya beberapa teguk, Dea mulai membuka suara menanggapi cerita yang baru saja diakhiri kawannya.
“Hihihii...” Oh, ternyata tawa yang keluar.
“Kok ketawa sih? Gue nggak sakit jantung kan, De?” Tanya Shilla, walau bukan itu sebenarnya yang ia takutkan.
“Aduuh Shillaa kamu ini lugu atau terlalu pinter sih. Ya nggak lah” Kata Dea “Udah Lo nggak salah kok. Lo emang ‘ehem; udah jatuh cintrong ama Rio ‘si pengganggu’” Lanjutnya disertai tanda kutip dari kedua tangannya.
Shilla mengaduk-aduk jus Strawberrynya “Beneran yaa..” Katanya bimbang, mukanya memerah “Kok bisa jadi kaya’ gini ya, De.. ya ampuun lo kan tahu dulu gue mbleneg banget sama dia”
“Yaaah, sekarang ini banyak banget kok cerita-cerita dan lagu yang nyeritain ‘benci jadi cinta’, jadi menurut gue itu hal yang biasa dan wajar..” Kata Dea yakin “Gue pernah baca di internet quote kaya’ gini “Cinta itu kaya’ kentut keluar dengan sendirinya dan bisa menyerang siapa saja’” Dea manggut-manggut. Tawa Shilla meledak.
“Bhuahahaha,  quote dari siape tuh? Aneh banget. Pasti sodaraan sama Rio ya? Aneh gitu..” Shilla tergelak.
“Ada tuh, publik figur yang lagi eksis, poconggg namanya, hahaha”
Tawa Shilla memelan, ia teringat sesuatu “Tapi, dia pernah bilang kalau dia lagi suka sama cewek, dan lagi berusaha pdkt sampe si cewek suka ama dia. Trus, gimana?” Ucap Shilla lirih.
“Ooohh..” Dea melantunkan nada kecewa ala penonton-penonton sitkom. Sebelum Dea sempat mengatakan sesuatu, Shilla menyela.
“Sebenernya gue udah merencanakan sesuatu sih, De. Udah dari kemarin-kemarin, Cuma gue waktu itu emang belom yakin”
“Apaan tuh?”
“Gue bakal bilang ke dia soal perasaan gue. Ya, walaupun gue nggak yakin dia bakal menanggapi positif. Tapi dalam kamus gue, kalau udah yakin nggak ada acara nunggu-nunggu lagi, De. Gue harus to the point kalau perlu gue yang bertindak duluan”
Dea terperangah dengan keyakinan teman sebangkunya sekaligus teman terdekatnya ini. Setaunya Shilla memang pribadi yang tegas. Dan dia tau Shilla pasti sudah memikirkan hal ini matang-matang.
“Baiklah, gue bakal mendukung, Lo. Sekarang kan udah jamannya emansipasi wanita, jadi gue pikir nggak ada salahnya kalu lo mulai duluan..” Kata Dea.
Shilla menghela nafas. Ada satu lagi sebenarnya, sesuatu yang meragukan niatnya, sesuatu yang menurutnya merasa tidak pantas melakukan niatnya. Sesuatu yang membedakannya dengan Rio. Beranikah dia?.
“Mau kapan, Shill?”
“Sekarang?” Shilla menggigit bibir. Mulai tidak yakin. Dea menelan ludah.
“Baaikk. Udah siap?”
“sebelumnya, De. Kamu nanti mau minjemin pundak kamu kan?”
Dea berpikir sebentar, lalu tersenyum mengerti “Pasti”. Shilla tersenyum tipis.
Shilla menandaskan Jus Strawberrynya, setelah berpikir beberapa saat. Akhirnya ia berdiri dan telah memantapkan niat.
***
Dea memang tidak berada dilokasi Shilla dan Rio sekarang. Ia akan mendukung dan menunggu Shilla disini. Di mobilnya. Dea berdoa dan berharap keputusan yang terbaik bagi keduanya.
Shilla berdiri disini. Di taman belakan sekolah. Ia menatap Rio yang terkejut mendapati kedatangan Shilla. Oh, tuhan.. kali ini saja jangan buat Shilla pergi begitu saja tanpa alasan, doa Rio.
“Hai, Rio” Sapa Shilla.
“Hai, Ashilla” Sapa Rio senang. Ia menghampiri Shilla.
“Ada. Sesuatu yang mau aku omongin. Tapi. Please jangan disela dulu”
Rio mengerutkan keningnya, tapi kemudian tersenyum dan mengangguk.
“Dari awal kita sekelas di SMA ini. Aku bersumpah aku benar-benar tidak suka dengan semua sikap kamu. Muka kamu yang selalu saja seperti tidak punya dosa. Cara kamu membodohi temen-temen dengan teka-teki jayusmu. Sumpah. Carmuk banget”.
“Sejak saat itu aku mematenkan satu gelar khusus buat kamu. ‘si pengganggu’. Kamu nyadar nggak? Ketawa kamu itu selalu nyaring diruang kelas, sering banget bikin risih telinga aku. Gara-gara kamu juga guru piket jadi sering masuk waktu jam kosong, karena apa? Karena kamu suka bikin rame. Bikin susah Dea. Dan akhirnya aku ikut kesel juga”. Shilla dan Rio tertawa kecil bersamaan.
“Tapi, sejak kamu sering gangguin aku. Sampai–sampai di perpus pun kamu gangguin aku. Memaksa aku merasakan posisi teman-teman lain untuk mencari jawaban teka-teki kamu, biar nggak denger suara puas kamu yang ngeselin. Aku jadi merasa beda. Sejak kamu menentang kalai teka-teki kamu itu bukan ‘bodoh’ tapi ‘kreatif’, aku jadi mencerna semuanya perlahan”.
Shilla menarik nafas, tersenyum.
“Tahu nggak? Pulang dari perpus aku jadi sering ketawa sendiri, kadang inget ekspresi kamu waktu bilang ‘kentangtingtungtingtangtingtung’” Shilla tertawa.
“Dan sejak aku sama kamu, aku jadi ngerti ternyata kamu orang yang sangat baik, ya walaupun tetep nyebelin. Tapi aku tahu kamu orang yang suka menghibur dan nggak suka permusuhan. Kamu berhasil merubah pandangan aku tentang kamu, kamu juga bikin aku jadi nggak suka ngumpat atau menggerutu lagi, asal kau tahu saja”
“Jadi sekarang yang ingin aku tanyakan. Bolehkah aku berharap kalau aku ingin selalu didekatmu?”
Rio terkejut.
“May I love you, although. Although I’m not. Funny?” Tanya Shilla pasrah.
Ya. Itu dia. Rio yang menurut Shilla terlalu baik dan humoris itu tidak pantas untuk Shilla yang jutek. Mungkin Shilla bisa terhibur dengan Rio. Tapi bagaimana sebaliknya? Shilla mungkin tidak mampu bersikap lucu untuk menghibur Rio. Itu yang dia ragukan.
“Ashilla..” Rio memegang pundak Shilla, menatap matanya lekat-lekat.
“Maaf” Kata Rio “Tapi aku sudah suka sama cewek”
“A-aku tahu. Aku, nggak apa.. y-yang penting aku udah pu-“
“Tolong jangan dipotong dulu” sela Rio “dan lo tahu? Akhirnya PDKT aku berhasil buat cewek itu akhirnya suka sama aku. Dan aku benar-benar menyayangi cewek itu sungguh-“
“Buat apa sih kamu nyeritain sedetail itu?” Shilla mulai kalut, bahunya berhetar, ia menggigit bagian dalam bibirnya kuat-kuat. Apa maksud Rio bilang seperti itu kepadanya? Setelah ia mengatakan semuanya panjang lebar?  Bukankah cukup dengan kata penolakan?.
“Itu semua karena, cewek yang aku suka. Itu kamu”
Shilla melebarkan matanya, membuat air mata yang tertahan jatuh dengan sendirinya. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia tidak tahu harus bersikap senang atau marah pada Rio.
Rio tersenyum tulus “Walau kamu nggak lucu, tapi aku tahu kamu punya kelebihan yang lain, sesuatu khas yang bisa menghilangkan rasa BT aku. Aku suka semua yang ada pada kamu, aku suka saat dimana kamu melebarkan mata. Aku nggak butuh cewek komedian untuk mengisi sebagian hati aku” Kata Rio  final, menjawab semuanya. Shilla tersenyum terlalu bahagia, ketika Rio langsung memeluknya, Shilla memukul punggungnya kesal.
“Makasih. Makasih, Yo”
***
‘tiit-tiit’
Dea meraih ponselnya tergesa-gesa, membuka pesan singkat yang sedari tadi ditunggunya matanya berbinar.
       From: ShillaaaXD
       Gw brhasil, De! Maaf bikin nunggu, tp kyknya gw plg bareng Rio aja. Thx
       Betewe. I love youuuuu.. :*

Dea bersorak. Syukurlaahh. Semoga ini memang keputusan yang paling baik. Yes! Yes! Yes! Berarti besok kudu ditagih PJ nih. Asiiikk, sorak Dea.
Tunggu. Jadi Gue daritadi nungguin Shilla percuma dong, kalau akhirnya dia pulang bareng Rio? Tau gitu dia tinggal pulang ajaa.
“Yeee, Shilla maaaahhh...” =_=a

-The End-
.

Eyaaakk. Ha-ha-ha -_-a. Yang saya inget selesai nulis ini di kertas tangan saya kemeng. Selesai ngetik ini pun tangan saya kemeng. Kayaknya ini cerpen emang lebih panjang dari cerpen-cerpen saya sebelumnya ya? XD
Gimana nih? Garing banget ya? Datar gituu.. -,-. Maaf ya, kalau part adegan Rio-Shilla saling menyatakan perasaan itu feel nya nggak dapet. Sama sekali tidak berpengalaman ^^V
Eh kalau diingat-ingat ini salah satunya cerpen aku yg tokohnya jadian lho! Biasanya kan adaa aja kejadiannya yang dibikin ceweknya matilah, cowoknya matilah, cowoknya suka cewek lain lah, bahkan ada yang dua-duanya mati XD. Yaaa.. sekali-sekali lah, yaaa... :P.
Okeh. Minta komentarnya doooongggg.... makasih yang udah mau baca dan berkomentar.
Oh iya, sama doain saya seminggu besok mau ujian, hehehe ^^a.
Maap kalo banyak yang salah ketik, nggak sempet ngecek ulang (gak sempet apa males?) =o=a
Dadaaaaahhh

oh iya nambah lagi, maap kalo yg ini ff lagi, tapi tunggu saja saya ada projek lain yang bukan ff kok! ;)
`GentaRP`




Sabtu, 12 Maret 2011

Stars [cerpen]

Cause in the sky oh, so high, there are beautiful stars which shine in the night

Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela hanya untuk mengontrol emosiku. Ada tangan seorang wanita paruh baya yang sedang meremas pundakku, seolah memberiku kekuatan. Walaupun aku tahu wanita itu sudah tidak bisa menahan air matanya.
“Saya tahu saya tidak berhak, saya bukan tuhan..”
Ya! Bapak bukan Tuhan. Bapak tidak berhak.
“Waktunya memang tidak lama lagi..”
Dan saat itu juga, dimana aku melihat ada satu bintang yang mengintip diluar jendela, setetes air mata mengalir menuruni pipiku, yang segera disusul tetesan sejenis lainnya. Aku melihat dokter didepanku yang sedang tersenyum lemah, lalu ke seorang wanita yang masih menyentuh pundakku. Aku menggeleng.
Aku tahu mungkin sebagai seorang laki-laki aku tidak pantas untuk menangis, menunjukkan betapa lemahnya aku. Tapi tidak bisa. Karena sungguh aku tidak ingin dia pergi meninggalkan kita semua secepat ini.
Aku mendongak, dan segera menyeka air mata saat mendengar deritan pintu ruangannya terbaring terbuka. Wanita paruh baya itu, Ibunya. Beliau keluar sambil tersenyum tipis, aku berdiri.
“Nak Obiet..”
“Ibu tenang saja, hari ini biar saya yang menjaga, Ibu pasti capek. Lagipula besok kan hari minggu..” Kataku “Saya sudah minta izin Ibu, kok..” aku tidak tega melihatnya kelelahan seperti ini. Beliau berpikir sejenak lalu menghela nafas.
“Ya sudah. Tadi waktu ibu lihat Oik juga baik-baik saja, dia malah bercandaan terus.. semoga-“
“Tidak akan, bu..”
“Semoga. Ibu titip Oik sebentar ya, Biet.. berani kan?” Aku mengangguk “Nanti Rio nyusul kesini kok, gantian jaga rumah soalnya. Ya sudah, ibu pulang dulu..”
“Iya, hati-hati bu..”
Menghela nafas, aku mencoba tersenyum. Aku berjalan menuju kamarnya. Oik menoleh kearahku setelah sebelumnya melihat keluar jendela. Dia tersenyum senang.
“Obiet..”
“Hei, lagi liatin apa sih?” Aku duduk disamping ranjangnya. Dia tertawa kecil.
“Lihat deh, Biet!” dia menunjuk keluar jendela kamar rumah sakit  yang sengaja dia buka, aku mencondongkan badanku kedepan, mencoba melihat yang dia maksud “cantik banget ya langit malam itu, aku suka ngeliat mereka”
“Iya, cantik. Kaya’ siapa ya?”
“Kaya’ aku dong!” Katanya bersemangat.
“Yee, kayak gini cantik?”
Oik manyun “Hehehe.. iya cantik kaya’ kamu..” Aku menowel hidungnya. Dia tertawa, lalu mulai berceloteh riang. Aku mendengarkannya, sambil berjalan untuk menutup jendela.
“Yah, Biet.. kok ditutup?”
“Udah malem.. tidur deh, istirahat. Besok kita jalan-jalan di taman rumah sakit, oke?”
“Beneran Biet?” Katanya bersemangat sambil merebahkan tubuhnmya. Aku tertawa.
“Iya, tapi kalau dapet izin dari ibu kamu sih. Wee..” Aku menarik selimut diranjangnya sampai menutupi bagian perutnya. Aku duduk dikursi dekat ranjangnya, masih ingin menemaninya berceloteh seperti biasa seperti biasa sebenarnya.
“Udaah tidur sana besok cerita lagi..” aku mengacak rambutnya pelan, dengan pasrah dia tersenyum dan memejamkan matanya.
“Tapi kaya’nya besok nggak bakal bisa deh, Biet” Oik membuka matanya.
“Kenapa? Ibu pasti ngasih izin kokm nggak usah takut”
“Bukan. Soalnya aku mau pergi”
“Eh?”
“Iya, tadi bintang itu ngajak aku. Dia akan mengajakku terbang ke langit biru, sama bintang-bintang cantik lainnya..”
Aku terkejut, tentu saja. Bicara apa Oik ini?
“Haha kebanyakan baca komik kamu, ngayal banget!”
“Hehehe, beneran kok, Biet. Tapi kamu nggak usah khawatir, aku bakal baik-baik aja sama mereka.. aku bakal menari-nari sama mereka, dan kalau hujan turun aku bakal bernyanyi bersama mereka.. aku bakal nemenin kamu diatas sana”
Aku menatapnya tidak mengerti. Wajahnya memang pucat, tetapi matanya berbinar. Aku Cuma tersenyum.
“Ngayal lah, kamu.. udah makin ngaco ngomongnya pasti karena ngantuk. Tidur kah, Ik..”
“Baik! Hehehe” dia mengeratkan selimutnya “Oh iya. Aku... sayang Obiet. Hehehe”
“Dasar..”
Dia mulai menutup matanya setelah menghela nafas panjang, dan terlelap dengan nafas teratur sekarang.
Aku dan Oik memang tidak ada hubungan lebih selain sebagai sahabat. Karena dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Kita hanya terpaut satu tahun, dia adik kelasku yang juga tetanggaku. Kita suka bermain bersama sejak SD, sampai sekarang kita SMP. Aku benar-banar tidak ingin dia pergi. Karena seperti yang kukatakan tadi, aku menyayanginya seperti adikku sendiri.
“Cepet sembuh ya, Ik..” Bisikku sambil menggenggam tangannya.

***
And the tears started flowing out again, and I went to the window, and I opened it. And there she was shining in the sky. Among those beautiful stars.
‘tinunet’
Mataku mengerjap beberapa kali. Oh aku tertidur. Aku melepas genggamanku dari tangan Oik. Kuambil ponsel disakuku.
“Lowbat?” gerutuku sedikit kesal. Kumatikan ponselku. Setahuku tadi aku belum mematikan lampu. Emm, pasti Mas Rio, Kakak Oik. Dia sedang tidur disana, di sofa kamar ini.
Aku menguap, mencoba untuk tidur dengan posisi semula. Tunggu, ada yang aneh dengan kondisi Oik, atau Cuma perasaanku saja?. Ia tidak terlihat bernafas teratur seperti tadi. Oh, tolong. Jangan. Aku mengarahkan telunjukku ke lubang hidungnya, tidak ada hembusan nafas. Dengan panik aku segera memegang lehernya berharap menemukan denyutan nadi. Tidak. Tidak mungkin. Masih belum mengerti aku memengang pergelangan tangannya sekarang, masih mencari denyut nadi itu.
Tidak ada.
“Nggak mungkin.. nggak.. nggak” gumamku tidak cukup pelan. Aku cemas tentu saja.
“Oik.. oik.. oiiikk..” Aku menampar-nampar pelan pipinya, mencoba membangunkannya. Tolong tuhan. Oik bangun, bangunlah. Air mataku mulai menyeruak keluar lagi, karena aku tahu mau membangunkannya seperti apapun juga dia tidak akan bangun. Dia telah pergi.
“Oiik..” Aku terisak.
“Hngg? Obiet, kenapa?” Aku menoleh ke Mas Rio yang terbangun.
“Kenapa, Biet?”
“Dia pergi”
Dokter baru saja menutup seluruh tubuh Oik dengan selimut. Seolah menegaskanku sekali lagi bahwa dia benar-benar pergi. Ibu Oik menangis hebat melepas kepergiannya. Mas Rio disampingnya, dan aku tahu dia sangat shock kehilangan adik kesayangannya.
Aku disini. Melihat langit yang masih gelap. Ada banyak bintang disana. Mungkin benar katanya, dia telah pergi bersama bintang-bintang itu. Karena aku melihat senyumnya diantara bintang-bintang itu, dan aku yakin bintang itu adalah ia, bintang yang paling bersinar menurutku.
Among those beautiful stars.

***
She’ll be dancing in the clouds and she’ll be singin’ the rain
Aku menengadah melihat hamparan bintang dilangit. Tidak banyak. Mungkin karena sekarang cuaca sedang mendung.
Sudah satu bulan lebih dia pergi.
“Kayaknya kamu betah ya main sama bintang-bintang itu” aku menunjuk langit “Nggak apa-apa sih. Tapi.. kalau ada yang gangguin kamu, bilang aku. Kalau kamu kesepian, bilang aku juga.. aku bakalan nemenin kamu”
Aku tertawa. Halah, bicara apa aku ini?, lagipula aku bicara dengan siapa?.
Mengacak rambutku sendiri, aku memutuskan masuk kamar meninggalkan beranda.
“Bintang dilangit, kerlip engkau disana..”
Aku berbalik melihat beranda. Tidak ada siapa-siapa tentu saja. Tapi.. aku mendengar.. oh! Aku tahu. She’ll be singin’ the rain, doesn’t she?. Ya, bersama hujan yang mulai membasahi bumi ini. Aku tersenyum.
“Kerlip engkau disana..”  Aku bersenandung kecil.
“Uhuk”
Aku terbatuk secara tiba-tiba. Aku jatuh terduduk menyandar dinding, masih terbatuk. Aku melepas bekapan tanganku dan mendapati darah ditanganku. Oh, bukan ini bukan dari mulutku, tetapi dari hidungku.
Pusing.
Ternyata makin banyak darah yang keluar dari hidungku. Aku nyaris tak punya tenaga untuk bersuara. Saat pintu kamarku menjeblak dengan tidak sabar, semua menjadi gelap.
***
I was in the sky oh, so high, with those beautiful stars that shine in the light. I was dan cing in the clouds and I was singin’ the rain.
5 tahun telah berlalu sejak bintang membawanya pergi. Saat itu juga sebuah kanker berkembang didalam tubuhku. Leukimia, membuatku berada disini sekarang. Di rumah sakit. Lagi. Haha.
Kesalnya, kanker sialan itu menyerangku disaat aku sedang merasakan euphoria luar biasa, karena aku baru saja mendapat pengumuman lulus SMA. Aku telah melepas masa seragam putih abu-abu lho. Aku seharusnya tengah merasakan bangganya menjadi mahasiswa. Kalau saja.
Bersyukur. Aku masih bersyukur memiliki teman-teman yang peduli, mereka sering menjengukku. Tapi tetap saja terkadang aku merasa kesepian. Seperti sekarang, Ibu dan Ayah sedang keluar membeli sesuatu. Jadi aku memilih untuk berjalan menuju jendela, mencarinya. Ah, dia disana.
“Hei, Oik.. ternyata kamu bener. Kalau sakit makan itu nggak enak banget” Kataku “Kalau dulu aku sering ikutan ngomel setiap kamu nggak mau habisin makan yang disuap ibu, sekarang aku dimarahin temen-temen aku. Keroyokan. Hehehe..”
Aku memandang lekat-lekat langit malam.
“Apa? Temenin kamu? Disana? Hahaha. Pengen sih..”
“Hn?”
Ugh. Darah ini lagi. Pintu membuka, aku tersenyum lemah, entah apa maksudku. Ibu langsung panik dan berlari memanggil suster ataupun dokter. Tanganku sudah penuh darah, haha. Darah itu perlahan membayang.
‘tit’
‘tit’
‘tit’
“Obiet!”
Aku membuka kelopak mataku. Aku mendengar suaranya. Dia memanggilku. Tunggu, dimana aku sekarang? Sekelilingku gelap. Aku berjalan dengan ragu.
“Obiet, ayo sini!”
Aku melihat sesuatu yang terang sekali diujung sana. Entah mengapa aku merasa aku harus berlari. Suaranya memang makin terdengar jelas, berarti aku semakin dekat dengannya. Aku akan bertemu Oik. Benar, kah?.
Sampai.
‘tiiiiiiiiiiiiiiitt’
Ada banyak yang berkelip disekitarku. Badanku terasa ringan. Serasa terbang. Aku bahkan tertawa. Rasanya benar-benar damai disini, seolah tak ada beban. Aku melihat ada bulan disana. Benarkah ini langit? Lalu dimana Oik?.
And I saw a beautiful face
Ya. Dia disana. Tersenyum. Membuatnya terlihat bersinar, dan lihat bahkan senyumnya tidak berubah.. masih menyejukkan. Tanpa berkata apa-apa dia meraih tanganku, mengajakku berputar, berdansa dengan bintang-bintang ini.
“Among those beautiful stars..”  Dia bernyanyi.
“Among this beautiful stars..”  Balasku.
“Sekarang aku bisa bermain sama kamu disini. Sama bintang-bintang juga..”
Oik mengangguk senang.

We were dancing in the clouds, we were singin’ the rain. Among those beautiful stars.


The End-


HA-HA –o-;
Yang ini nggak masuk akal ya? Ampun \-.-/.
Yeee akhirnya saya mbalik bikin fanfic! Abisnya kangen bikin fanfic, hehehe. Sebenernya ini bisa juga disebut songfict.. soalnya ide ceritanya aku ambil dari lirik lagu berjudul ‘Stars’ hehehe, aku nggak tahu siapa penyanyi aslinya soalnya aku denger yang versi ‘Greyson Chance’ dan emosi dia waktu nyanyi ini + piano nya itu aku dapet banget, jadi pengen bikin ceritanya hehehe ^^.
Nggak tau kenapa waktu nentuin tokohnya, yang kebayang itu Obiet sama Oik. Padahal aku sebenernya pengen pake Rio, tapi ya gitu yang kebayang tetep Obiet-Oik jadi saya pake deh hehehe ^^.
Oh iye maap ya, kalau nggak dapet feel nya kayak aku dengerin lagunya T.T soalnya saya merasa akhir-akhir ini nggak bisa bikin cerpen lagi, rasanya udah nggak selancar dulu gitchuu.. -_-.
Well, kritik dan saran amat sangat saya butuhkan. Terima kasih yang sudah mau menyempatkan membaca dan berkomentar, kalian penyemangat saya ^o^
Sayonaraaaaa...

-GentaRP-
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...