Jumat, 29 April 2011

Lalu, Aku Mengerti [cerpen]

Lalu, Aku Mengerti [cerpen]

WARNING: Ini sebenarnya cerita gaje yang tercipta saat belajar Bahasa Inggris untuk UNAS besoknya. Jadi harap maklum kalau semrawut -__-.
Karena cerita ini pun tercipta kilat selama 2 jam. J
***
Aku bisa mendengar derap sepatunya yang tegesa-gesa mencapai pintu kelas. Dan tentu saja. Detik berikutnya wajah yang selalu nampak kacau dipagi awal pelajaran ini terlihat. Membuat Pak Suto yang sedang berorasi dengan enggan mengatupkan bibirnya dan menolehkan kepalanya ke arah pintu kelas. Begitu juga yang lainnya. Tentu saja aku pun.
Setelah Pak Suto mempersilahkannya masuk kelas dan menyuruhnya segera duduk,—walau dengan raut kesal—beliau kembali berkicau. Dengan santai dia berjalan menuju bangkunya dan melewatiku. Aku mencoba tidak melihatnya. Tolong. Walau sebenarnya aku malas melihat wajah killer Pak Suto tapi kurasa itu lebih baik, hanya agar jantungku tidak berdegup lebih cepat.
Dan. Baik. Mungkin mataku berhasil mengabaikannya, tetapi indra penciumanku semakin bekerja ekstra, membuatku dapat menghirup bau parfume khasnya. Aku menunduk, merutuk dalam hati.
 “Ah, ini kapan selesainya sih, Pak Suto ceramah. Nggak berubah yaaa”
Sarah teman sebangkuku mulai berdemo dengan suara paling minim. Aku menoleh kearahnya. Tersenyum. Maaf Sarah, aku bukan tersenyum karenamu kali ini. Alasan itu ada tak jauh dari kita. Di belakang sana.
Pak Suto masih saja bersemangat memotivasi murid-muridnya. Menurutnya, memotivasi murid-murid lebih baik daripada memulai pelajaran penjaskes yang diajarnya. Yaa,yaa.. siapa yang bisa mencegahnya bila sudah begini? Kecuali bunyi—
‘KRIIIINGG’
—nah, bel penyelamat itu berdering juga.
“Baiklah kalau begitu, ingat fokus ya, nak” Nasehatnya sebagai penutup, dan ini belum berakhir “Sekarang kita mulai pelajarannya. Buka halaman 46..”
Dengan mood yang sudah terkuras habis ini, anak-anak membuka buku dengan malas.
“Kerjakan itu latihan dua, tentang Basket, jawabannya ditulis di kertas, bel bunyi kumpulkan ke saya” Spontan aku melebarkan mataku.
“Lho, Paak! Kan belum sempet diterangin?” Protes salah satu temanku.
“Kalian baca sendiri saja, lagipula kalian kan sudah sering praktek pasti mudah..” Kata Pak Suto tanpa rasa bersalah berhasil menghabiskan satu jam pelajarannya dengan motivasi-motivasi itu “Sudah, cepat kalian kerjakan, tanpa suara!” Perintah Pak Suto lagi saat seluruh kelas berdengung kompak.
Well, bukankah biasanya pun seperti ini?.




***
“Taraaaa!”
Aku terkejut saat ada yang meneriakkan namaku. Aku membalik badan. Ya, dia temanku, Anin namanya.
Yes, What’s going on?” Tanyaku tersenyum lebar.
“Woo, metesek basane.. Cuma mau bilang, kalau saranmu kemarin tembus, Ra!!” Anin melompat dan bersorak, aku mengangkat alis dan tersenyum ragu. Belum sepenuhnya mengerti.
“Ha? Tembus? Maksudnya?”
“Ya, ampun yaaa.. temenku ini. Maksudnya gara-gara ngelakuin saranmu, aku bisa baikan lagi sama Faris! Thank you, Taraaa! Emang deh, Madam Sahara nih oke banget solusinya!”
Anin menjabat tanganku girang. Aku tertawa. Perasaan Madam Sahara peramal, deh?.
“Oh, iya.. iya. Baguslah. Thanks, btw buat gelarnya, hahahaaa..”
“Iyaaa..” Dia masih tertawa riang, tiba-tiba Faris datang dan Anin pun segera pergi meninggalkanku. Ah, senang sekali melihat mereka bersama.
Dengan langkah ringan aku bergegas menuju kelas. Aku tidak mengerti, beberapa teman sering bercerita padaku soal masalah-masalah mereka, dan aku selalu mencoba membantu memberikan solusi. Dan solusi itu selalu berhasil memperbaiki masalah mereka. Tapi. Kenapa aku tidak bisa memecahkan teka-tekiku sendiri?.
Seperti kepada orang itu.
Aku berdiri tepat di depan pintu kelas. Dan dia berdiri menghalangiku masuk. Harusnya jantungku tidak perlu Hyperaktif seperti ini, eh.
“Pajak dulu, Ra.. baru boleh masuk” Katanya tersenyum jahil. Dan aku tertawa datar.
“Kasihan banget sih kamu, Dit.. udah disekolahin susah-susah sama bapak-ibumu, kerjaannya malakin jajan orang di sekolah”
“Loh, kan kerja sambilan..”
“Haa? Kerja sambilan gimana?”
“Kayak gini!”
Aku melongo, dan baru saja benar-benar memperhatikannya, bahwa dia sekarang sedang tertawa dan berlari dengan tahu  isi ditangannya.
“Radit, maaaliiinggg!!!” Teriakku.
Beberapa kawanku tertawa, dan aku masuk kelas dengan jantung yang semakin berdetak ¼ ketukan. Kenapa dia selalu seperti itu. Bukan, aku tidak kesal karena dia mencopet makananku. Aku kesal karena dia berhasil mencuri mesin kendali detak jantungku.
“Ah, Radit tuh kebiasaan, Ra..” Cibir Sarah saat aku telah duduk disampingnya.
“Emang, hhh..”
“Lain kali jangan dikasih ampun, Ra.. enak aja makanan orang dicuri-curi..”
“Anda sama saja Saraah! Itu ngapain tangannya ngambil tempe akuu”
“Huahahaa.. ampun, Raaa. Minta satu doang kok, Ra..”
“Iyeelah, nanti minta lagi ya!” Sindirku lalu tersenyum menahan tawa. Sarah menyeringai.
Radit masuk kelas lagi dengan senyum khasnya. Aku tetap saja mencoba mengabaikannya.
Aku tidak pernah berniat memperhatikannya. Sungguh. Aku sendiri tidak mengerti, tapi aku tahu segala kebiasaannya. Dia yang selalu saja datang terlambat, mejanya yang terlampau rapi—hanya satu buku tulis dan paket per pelajaran plus satu pulpen dimejanya—,rambutnya yang selalu ditegur guru karena panjang, sampai pandainya dia dalam bidang olahraga. Terutama Voly.
Ah, aku sendiri tidak tahu apa benar aku menyukainya. Selama ini aku menganggapnya sebagai ‘makhluk-mengerikan-yang-bisa-mengatur-detak-jantungku-lebih-cepat-atau-lambat’. Hhh, memikirkannya saja sudah membuatku bergidik. Biarlah rasa ini tumbuh dengan sendirinya.
***
Sekarang aku mengerti. Aku benar-benar menyukainya. Iya, dia Radit. Walau begitu tetap saja hanya aku yang mengetahuinya. Aku tidak memberitahukannya pada Sarah atau Anin. Aku lebih nyaman bersikap tertutup. Itu saja.
Hari ini aku bersepeda bersama Anin. Entahlah dia mengajakku bersepeda untuk berolahraga. Alasannya sih, diet. Faris yang menyuruhnya diet. Tapi bukannya bersepeda malah membuat betis kita besar ya?. Krikkrik. Ide Anin memang suka aneh.
Anin masih saja bercerita tentang Farisnya, dan aku masih saja setia mendengarkannya, mengharagainya. Sampai akhirnya topik lain menerobos masuk. Tentang dia.
“Eh, Ra.. Merin itu pacarnya Radit kan ya?”
“Ha?!” Aku tidak bisa menyembunyikan nada kagetku. Aku menoleh cepat ke Anin, bolak-balik kearah depan, kearah Anin. Hei, aku Cuma tidak ingin menayangkan atraksi spektakuler seperti menabrak rombong dalam cerita ini.
“Iyaa, Merin anak kelas sepuluh, adek kelas itu, yang anak cheers. Kamu nggak tahu?”
“Ee, Ehehehe, nggak berminat untuk tahu juga sih..” kataku ragu.
Oh, ya. Tentu saja. Seseorang seperti Radit masa’ tidak punya pacar.
Anin meneruskan topik barunya ini. Ia bercerita tentang kedekatannya dengan Merin.
“Merin itu adik kelas aku waktu SMP, Raa. Waah, dia excited banget kalau cerita soal Radit haha. Padahal Radit kan ngeselin dan tipe-tipe males gitu ya, Ra.. kok ya, ada gitu ya, yang suka dia. Hahahahaaa..”
Aku tersenyum. Ironis.
Iya. Kok ada ya yang suka sama dia. Seperti seseorang ya?.
“Eh Ra, berhenti di Indomaret itu dulu, yok. Haus aku..”
Dan kami pun berhenti mengayuh. Bergantian dengan hatiku yang entah mengapa berdenyut perih.
***
Aku.
Aku tidak mau mengharapkan sesuatu yang lebih lagi dari ini.
Tapi. Entahlah. Sikap baiknya kepada semua orang—termasuk aku—membuatku berharap tentang dia. Dia, dengan gayanya seolah menawarkanku segenggam harapan untuk aku tunggu. Harusnya jangan begini. Aku ingin melepas rasa in-
“Tara?”
Suara itu.
Aku mendongak dan menatapnya. Dia berdiri dengan satu alis terangkat, jaket menggantung disebelah bahunya dan tangan yang masuk di saku celananya. Hei, aku memperhatikannya?.
AAAAA!. Bodoh, kenapa dia malah disini?! Aku ingin melupakannya. Tolong seseorang lenyapkan aku dari sini.
“Kok belum pulang? Tumben? Hehehe..”
Dan aku menyerah. Aku tak berkutik. Masih saja menatapnya.
“A? Hehe iya nunggu jemputan” Jawabku gugup. Dia berpindah posisi dan duduk disampingku. Aku memang sedang duduk di trotoar perumahan dekat sekolah. Terlihat seperti gembel? Tapi begitulah kami sekarang.
Kami? Hei! Dia DI SAMPINGKU.
Kumohon kakak cepatlah datang dan bawa aku pulang.
“Ra, kata temen-temen kamu jago ngasih solusi ya?”
“Eh?” Aku spontan menoleh “Aa-em-i-iya gitu sih katanya. Nggak jago kok, kebetulan aja”
“Hng? Nggak ada yang kebetulan, eh? Kebetulan gimana?”
“Err, i-iya sih. Nggak ada yang kebetulan”
Hening.
“Jadi, maksud aku mereka bisa nyelesain masalah mereka bukan karena solusi aku aja. Semua kan kembali ke merekanya gitu lho, mau maju atau nggak..”
“Iya, dan itu berkat dorongan kamu, kan?” Desaknya.
“Aaah!” Dan aku tidak berani lagi menatapnya. Aku menyerah, tidak mau berdebat dengannya.
“Hahahahaa... Taraa, Taraa...”
Sementara itu aku memegangi dadaku, astaga deg-degan kali ini lebih parah. Normal. Ayo, kembali normal.
“Ngomong-ngomong, kamu tuh kok bisa pinter sih, Ra?”
“Haa?” Aku menoleh lagi.
“Iya, semester satu kemaren kamu peringkat 2 kan?. Aku suka lho, cewek smart”.
Oh ya?.
“Biar ada yang ngajarin aku gituu, hahahahaha...”
Ya, sudah. Kenapa bukan aku saja yang jadi cewekmu? Bukankah ilmuku sudah pasti lebih tinggi dari cewek kamu yang MASIH kelas sepuluh itu?.
EEH!!!.
“Kamu itu baik banget lagi. Tapi juga bisa jutek sama cowok-cowok yang suka geje. Keren banget cewek yang kayak gitu, haha..”
“Hahaha, kamu lagi nggak mencoba ngerayu aku, kan, Dit?”
Eh?.
YA AMPUN! AKU NGOMONG APA? Ke-GRan banget. Tuh, kan Radit ketawa.
“Hahaha, nggak kok.. beneran” dia menuntaskan tawanya lalu diam. “Iya, aku suka sama kamu”
‘DEG’
‘DEG’
‘DEG’
Aku tidak pernah berencana menjadi perusak hubungan orang. Sungguh. Aku sendiri tidak mengerti. Dia yang membuatku percaya diri. Dia yang membuatku berani berharap. Dan Radit sendiri yang baru saja mewujudkannya. Dia menyukaiku. Hei!.
Aku menoleh kearahnya. Tersenyum senang tanpa bisa ku cegah, saat itulah pipiku memanas. mulutku membuka ingin berkata kalau saja ia tidak memotongnya.
“Aku suka banget sama karakter kamu. Idola banget laah. Menarik, jadi pengen aku jadiin temen. Kamu sudi kan jadi temenku? Hahahaha...”
Radit tertawa. Iya. Tertawa. Iya. Aku memang ke-Gran. Aku melambung terlalu tinggi.
Aku ikut tertawa. Pahit. Bodoh sekali ya?.
“Sudi? Haha, pasti. Pa-pasti mau lah, Radit..” Kataku lirih.
“Waa, beneran? Thanks banget Taraaa. Ntar ajarin aku Matematika, yak? Haha pelajaran paling parah tuh..”.
Oh, aku tidak menginginkan ini. Kenapa wajahnya menjadi kabur dipandanganku. Aku tidak ingin mengangguk, takut sesuatu jatuh dari ujung mataku. Maka aku tersenyum.
“Siip. Lho, itu mata kamu kok, berkaca-kaca gitu? Kenapa, Ra? Nggak usah terharu gitu dong, Ra..” Katanya saat menyadari wujud mataku yang berubah bening.
“Ha? Apa? Ng-nggak, ini lho.. abis kelilipan..” Aku mengalihkan pandanganku, sambil mengusap mata. Dia tertawa kecil.
“Kak, Radit? Waah masih ditungguin ternyata..”.
Aku beralih kearah sumber suara barusan. Gadis itu.
“Eh, hei sayang. Gimana udahan ekskulnya?”
“Udah doong..”
“Pulang sekarang?” Gadis manis yang aku tahu bernama Merin itu mengangguk “Oke, aku duluan ya, Ra! Daaa...”
Aku?. Aku melambai kearah mereka. Bisa ya?. Tentu saja, bukankah selama ini pun begitu.
Lalu, aku mengerti, aku tidak lebih dari seorang teman baginya.
Lalu, aku mengerti, aku hanya bermimpi terlalu tinggi.
Lalu, aku mengerti, aku tidak berhak mengharapkannya lagi.
Karena kamu tetap saja berjalan maju dengan yakin, tanpa mau berbalik. Tanpa mau melihatku yang tertinggal jauh di belakang. Menunggumu tanpa berkata apa-apa.
-end-






KrikKrik.
Apalah ini. -___-.
Tidak terlalu berharap ada yang mau baca sih, aku tidak mau berharap terlalu tinggi seperti Tara #eaaaa. Hahahaha... XD. Nggak juga sih, sebenernya aku bikin ini untuk membangkitkan sense menulis aku yang hilang entah kemana.. dicopet Radit kali atau Rio (?). jadi maklumi saja kalo ini totally geje, yeah amatiran gitu yang bikiin, wkwkwk.
Oh yeah, kenapa saya pake nama Tara? Karena saya sudah nggak punya ide lagi. Kenapa saya pake nama Radit lagi? Karena saya benar-benar suka sama nama itu XD.
Okelah thanks buat yang nggak sengaja baca :P.
Sayonaraaa... ^^
Nb: Pak Suto itu guru saya, dan semua yang saya tulis itu kurang lebih benar kecuali muka killernya V^^
Oh yeah, emang di SMA ada penjas? Nggak ada ye? *ngarang*
-GentaRP-

sekuel:  Ya, Aku Terima
click  the title to read :D


4 komentar:

  1. wah, ni nih yg namanya calon penulis !
    hha,, kepepet pun masih bisa nyelesain cerpen !
    ckkkckckc,,
    lanjut belajar !! hha . . .

    BalasHapus
  2. Heheheheeheheheeee.... ^^a makasih udah baca :p

    BalasHapus
  3. Sukaaa!!! Beneran Ta, lebih ngalir dari cerpen sebelumnya! selesai dalam waktu 2 jam? wuiiih jagoan si bocah! ^^

    bikin lagi cah!!

    BalasHapus
  4. Waaah, dibaca! hahaha. iya gitu deh, 2 jam'an nyeleseinnya, maklum kalo lagi stress tingkat menulis meningkat secara signifikan, Tan (?).

    yasudahlah, makasih udah baca, syukurlah kalo suka :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...