Kamis, 28 Juni 2012

Three Points [part 2]

ini lanjutannya yang kemarin itu hehehe nikmati saja. mohon maaf atas kekurangan. *menghilang*


***



Jadi sekarang aku disini. menampakkan wajah yang sedang dihiasi senyum konyol karena baru saja menceritakan beberapa kejadian yang menurutku agak ajaib kepadanya. Si Amanda. Kalian ingat Amanda kan?

Aku baru saja bercerita tentang uhuk, Ardi ketika memberikan dekerku yang terjatuh seminggu yang lalu. Aku juga bercerita tentang anggukan Ardi ketika berpapasan denganku lima hari yang lalu. Lalu kejadian dimana kita bertemu di UKS dan masih banyak kejadian 'interaksi'-ku dengan Ardi yang entah kenapa menceriakan hari-hariku beberapa hari ini.

Sekarang aku menunggu respon Amanda yang...tampaknya kaget. Tapi perlahan aku menemukan senyum itu kemudian tawanya yang meledak seketika. Membuat jantungku berdetak grogi membayangkan tanggapan Amanda sebentar lagi.

"CIEEEEHHH....." dia mengacak-ngacak rambutku yang sedari tadi memang sudah berantakan, "tuh kan, apa ku bilang.. dia itu sudah mulai ngerasa, Tit. Jadi sekarang ceritanya pdkt-an gitu ya.."

Aku mengibaskan telapakku didepan mukanya, mengelak, "Nggak gitu juga sih.." jawabku dengan ekspresi kembali normal, "itu semua kan cuma kebetulan aja.. ternyata dia sering nonton pertandingan basket lho.."

"Hngg, ngeliatin pertandingan basket, karena ada kamunya kan? Ah! jangan-jangan dia juga suka sama kamu, Tit.."

Aku menggeleng. Sudah kubilang, didepannya aku tidak mudah termakan situasi. Walaupun se-sesuatu apapun hal yang aku rasakan pada Ardian sebisa mungkin aku harus menganggap itu hal yang wajar-wajar saja. Ya, walau sesekali lepas kendali juga sih. 

"Oh ya,  udah dari kemarin mau aku tanyain kelupaan terus. Kamu ternyata kenal ya, Da sama dia?"

"Hn? Dia? Ardi?" Tanyanya balik sembari tangannya sibuk membereskan buku-buku di mejanya, "em..nggak, kenapa emangnya Tit?"

Aku melipat bibir lalu meniup poniku sendiri dan mulai berdiri menggantungkan ransel, "Waktu yang pas dia ngasih tahu dekerku jatuh itu dia sempet nyebut nama kamu gitu nanyain tumben aku nggak bareng kamu.. aku kira kamu kenal.."

"Eh? Masa sih?" Amanda menggaruk pelipisnya, "jangan-jangan aku makin eksis Tit. Eeeeh atau jangan-jangan kamu jeles ya Tiiit?"

Aku memundurkan kepala, "Ngapaain? nggak. ngapain jeles coba" 

Lalu Amanda tertawa kecil sambil menggoda sekali lagi. Tapi aku diam saja. Beberapa hari ini sebenarnya aku mulai mempunyai pikiran aneh tentang Amanda. Mulai dari berkurangnya intensitas ia menggodaiku sampai lenyapnya informasi-informasi tentang Ardian yang biasanya selalu ia salurkan ke aku. Apa dia mulai bosan ya.

Eh, tapi kenapa juga aku jadi berharap Amanda menggodaiku. Aneh.



"Oh ya, Da hari ini aku nggak bisa barengin kamu pulang ya, aku ada gladi resik buat besok tanding.. kamu pulang sendiri nggak apa kan?"

"Yaah, okedeh.. nggak apa. Semangat ya Titaaa latihannya.. terus besok menangin lombanya!"

"Amin, thanks, Da.."

Ia mengangguk. Lalu mulai jalan lagi menuju gerbang sedangkan aku beralih kearah GOR.

Kalau saja,

Ha-astaga!

Katakan reaksi kagetku berlebihan. Tapi sungguh aku kaget melihat objek yang berada sepuluh langkah didepanku sekarang. Err, ya uhuk Ardian. Aku senang bisa melihat dia hari ini, jadi aku sekarang kembali berjalan maju dengan senyum kecil menghiasi wajahku.

Sapa-Tidak-Sapa-Tidak-Sapa--ah buat apa menyapanya. Tidak usah bertindak konyol Tita, tegakkan jalanmu dan berjalanlah seperti bia..

"Eh, hei.."

Aku menoleh kesampingku dan ya, dia baru saja mengangguk sopan menyapaku. Aku cuma bisa tersenyum agak garing karena tidak percaya, lalu membalas mengangguk. Toh ia sekarang mengucapkan pamit pulang lebih dulu. Benar-benar tidak diduga. Rasanya ada hembusan angin yang menerbangkan rambut-rambutku. membuatku tak bisa untuk tidak tersenyum. Dan bodohnya sampai sekarang aku masih melihatinya dan tas ranselnya yang bergoyang-goyang karena si empunya sedang berlari.

Eh?


Kau tahu apa? senyumku surut dan dahiku berkerut dengan berbagai kalimat tanya menyerbu otakku. Itu Ardi, mencegat... Amanda?

Aku masih saja berdiri dengan muka straight walaupun mereka sudah menghilang dibalik gerbang. 

Ada apa ya? Kenapa Ardian mencegat Amanda? Kalau aku boleh menduga sepertinya Amanda memang kenal dengan Ardian. Tapi berdasarkan jawaban Amanda, dia mengaku tidak mengenal Ardi. Masa iya, Amanda bohong padaku? Atau mungkin...Ardian.

Aku menegakkan punggungku.

Ada apa Tita? Kenapa pikiranmu jadi macam-macam seperti ini. Tidak ada apa-apa kan. Tidak.. tidak tidak.. tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa Tita. Apa yang kau lihat belum tentu sesuai dengan apa yang kau pikirkan. Buktinya belum jelas. Itu hanya satu kejadian, dan kau sudah menuduhnya dengan berbagai dugaan menyudutkan.

Mendadak aku tertawa agak sinis, menertawai diri sendiri. Aku percaya pada temanku kok. Dan mari kita kembali kepada realita bahwa aku harus latihan untuk pertandingan besok.

***

"Titaaaa! Pagi-pagi udah lemes aja.." 

Aku memaksa untuk mengangkat kepalaku yang terasa berat sekali sejak tadi bangun tidur, menoleh kearahnya walau masih dalam posisi kepala menempel lipatan tangan, membalasnya dengan senyum. 

Dia baru saja datang dan kondisinya segar, ceria seperti biasa. Beda sekali denganku. 

"Capek ya, Tit? Atau jangan-jangan kamu sakit?"

Aku menggeleng lalu menegakkan posisi duduk, "nggaaak. cuma capek dikit.. mana sempat aku sakit sedangkan nanti aku tanding" seringaiku.

"Ahaha, baguslah. Aku tahu kamu sama timmu pasti bisa menggulung tuh tim mata-mata sipit itu!" Katanya yakin sekali. Aku tertawa kecil mendengar ia menyebut lawanku nanti yang memang pemainnya rata-rata berasal dari RAS Cina.

"Oh ya, nanti berangkatnya bareng aku lagi ya, Da.." 

Amanda menoleh dengan wajah agak berpikir, "Kayaknya nggak deh, Tit.. aku nanti sudah ada barengan kok. Lagian kamu kan harus dateng lebih awal, sedangkan aku kan gampang haha.."

Aku membulatkan bibir, lalu mengangguk, "Oke deh.. tapi dateng lho! Awas kalau nggak dateng" Kataku kembali tepar, tidur beralaskan kedua lengan diatas meja.

"Pasti Titaaaaaa! Istirahat yang bener yak ntar kalo udah masuk aku bangunin hahaha.."

Aku mengangguk-angguk saja. Kepalaku pusing sekali. Aku sedang tidak ingin berpikir atau menduga macam-macam. Lagipula memang tidak ada yang perlu dicurigai kan.

Ketika seluruh pelajaran hari ini berakhir aku cepat-cepat beranjak dari kelas dan ingin segera pulang ke rumah. Kepalaku masih saja berat. Benar-benar kondisi yang tidak tepat.

"Da, aku balik duluan deh ya, kepalaku pusing banget mau istirahat.."

"Kamu beneran nggak apa-apa Tit? Kamu mau pulang sendiri naik motor? nggak apa?"

Aku cuma ngangguk. Ah sialan, kenapa harus sepusing ini, "Kau kenal aku kan? Percayalah, dengan istirahat beberapa jam kondisiku akan membaik dan siap mengalahkan si tim mata sipit" Aku menepuk pundaknya sekali, lalu melambai dan pergi. Aku baru benar-benar berbalik ketika ia mengangguk ragu karena khawatir plus ucapan 'ati-ati'-nya.

Hoa! Hampir saja menabrak. Aku berhenti mendadak di depan kelas, lalu baru sadar ada... waaa Ardian didepanku.

"Maaf-maaf.."

Dan aku cuma bisa mengangguk-angguk. Antara kaget, gugup, pusing aku juga tidak tahu mana yang dominan. Yang jelas mendadak aku keluar melewatinya setelah mengangguk pamit padanya. Dan berjalan cepat.

Astaga bahaya sekali. Untung tidak menabrak. Jantungku benar-benar berdetak heboh sekali. Beradu dengan denyut di kepalaku. Ahahaha, sial.

***

Riuh sorakan orang-orang memenuhi seluruh GOR. Aku disini masih duduk di bangku pemain cadangan karena kondisiku belum membaik. Pelatih benar-benar tidak mempercayakanku walau aku disini sudah gatal sekali ingin berlari ke tengah arena. Ini sudah babak ke-3 dan skornya tipis sekali. 22 untuk tim lawan dan 20 untuk timku. Tinggal 15 detik sebelum berakhirnya babak ke-3 ini.

Aku menggosok-gosokkan tanganku sambil merapal doa memperhatikan teman-temanku berjuang disana. Dari sini aku juga dapat melihat supporter dari siswa-siswa disekolahku kompak memakai baju merah sambil bernyanyi dan berjoget. Aku bisa menemukan Amanda ada disalah satu mereka. Oh dan ya Ardian. Ia ada satu bangku dibawah Amanda, berteriak penuh semangat bersama teman-teman paskinya yang pernah aku lihat.

Aku tersentak, saat pelatih menepuk pundakku. Lalu melongo ketika ia akhirnya mempercayakanku untuk turut ke tengah lapangan dalam babak 4 ini. Aku segera mengangguk dan melepas jaketku, bersiap masuk ke pinggir lapangan. Begitu aku masuk menggantikan Jeje rasanya supporter diatas sana semakin riuh saja. Segera aku bergabung dan merapal doa dalam hati, memulai berlari berusaha merebut bola.

Aku tidak bisa mendeskripsikannya secara detail, yang aku tahu, aku selalu mengawasi gerak bola dan irama permainan yang semakin agresif dan cepat ini karena sisa waktu yang ada. Sesekali aku berhasil mendapatkan bola dan mengoperkannya pada rekanku, lalu kembali berlari mendekati ring lawan, tapi kau tahu? ya, sial. Selalu saja si mata sipit itu--aku tidak tau detailnya karena muka mereka nyaris sama--selalu berhasil merebut bola, hingga 2 poin berhasil mereka kantongi lagi.

Aku berjalan, mengatur napas. Indira menggeleng-gelengkan kepala, nampak putus asa. Tidak, ia tidak boleh berputus asa..em, tepatnya kita. kita tidak boleh putus asa. Jadi aku menepuk pundaknya keras sebagai bentuk dukunganku lalu kembali berlari lagi melihat si mata sipit mulai mendekati ring dengan bola ditangannya. Aku mencoba merebut bolanya sebelum ia sempat mengangkat dan menembak bolanya. Berhasil!, aku berhasil merebutnya. Tentu saja, aku langsung memantulkannya seiring derap kakiku diikuti seluruh player di belakangku.

Aku bisa merasakan orang-orang diatas sana semakin terbakar untuk menyemangati. Disaat manusia sipit-sipit ini menghadangku, aku melemparkan bolaku ke arah Dira. Mereka berbalik arah fokus, dan aku dapat berlari ke arah lain ke dekat ring. Belum sampai, Bola itu sudah ditangan Indira dan ia melemparkannya ke arahku. Reflek aku menangkapnya dan dengan ide dadakan aku menembak bola itu. Ya, begitu saja. Kau tahu? rasanya sama seperti membiarkan tubuhmu jatuh dari menara radio genFM!

"Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa yeyeyeye..... AYO TAMBAH LAGI POINTNYAAA!!!"

Nafasku tersengal. Bola itu masuk. Three Points, dan orang-orang diatas sana semakin mengagumkan suaranya. Sanggup membakar semangat. Untuk sementara score-ku dan lawan sama. Tembakanku barusan belum bisa mendinginkan suasana mengingat waktu tinggal satu menit lagi. Aku bisa melihat si sipit itu semakin panas, lihat saja usahanya setiap menghadang teman-temanku.

Sial. Aku berhenti berlari, kepalaku pusing sekali.

Aku lirik lagi, waktunya tinggal 30 detik. Tidak ada waktu untuk bersakit-sakit.

Berlari lagi dan perasaanku membaik saat Dira kembali mengambil alih bola, ia mengoper bola itu kearahku dan aku memantulkannya sambil menyerobot gerombolan sipit itu. Setelah melakukan beberapa operan karena hadangan yang selalu datang akhirnya, bola itu berakhir di tanganku lagi. Aku mencoba menembak dan sial! Foul! 


Terjadi pelanggaran di dalam qhole membuatku harus melakukan free throw. Penonton di dalam GOR mendadak hening untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berteriak lagi. Indira memberikan kepalan semangatnya sedangkan Dira, menepuk bahuku sambil berbisik, "Kamu pasti bisa.."

Inilah saat-saat paling menegangkan dari seluruh peristiwa yang aku alami. you know? inilah nanti yang akan menentukan nasib sekolahku di pertandingan ini. Bisa dibilang, keputusan ada ditanganku untuk membawa pulang piala dan menciptakan senyuman bahagia untuk seluruh warga sekolah atau membuat orang-orang luar biasa diatas sana kecewa.

Bola sudah ditangan. Aku menoleh sekali lagi dan yang aku tangkap adalah wajah Ardian, ia sadar denganku lantas tersenyum. 

Aku hanya dapat kembali menghadap depan. Ini saatnya konsentrasi Tita. Lihat, waktu tinggal enam detik lagi. Kupantulkan bola itu beberapa kali dan mulai!

"OOOOOOOOOOOHHHH..."

Riuh kembali, benar. Bola itu memantul di bibir ring.

Tidak. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Bola ini harus masuk. Harus masuk.

Aku mencoba lagi.

Dan...

"WEEEEEEEEEEEE.......... LAALAA YEYEYEEE GOO TITA GOO TITAAAA GO SIXTEEN!"

Masuk! One point. Aku terdiam sebentar walaupun permainan dan waktu kembali berjalan. Si sipit itu kembali merebut dengan ekspresi tidak santai, membuatku sadar bahwa permainan belum berakhir, saat aku mulai berlari lagi, pendukung sekolahku mulai menghitung mundur sampai.......

Yeaah, tembakan si sipit itu gagal masuk ring, seiring berhentinya waktu. Aku langsung jatuh terduduk. Indira, Dira, Ata, Regi dan lain-lain langsung sumringah dan menghampiriku, seluruh rekan berhamburan ke tengah lapangan dan saling mengucap syukur. Astaga, rasanya ingin meledak. Kau tahu kan, hal apalagi yang paling membahagiakan selain membuat orang lain bangga denganmu?

***

Setelah rapat dan bereuforia beberapa menit dengan rekan-rekan, kami mulai keluar. Aku memakai jaketku tanpa mengganti celanaku. Huahaha, aku bisa keluar dari ruangan dengan perasaan ringan sekarang. Beberapa warga sekolah berdresscode merah menyapaku. memberikan selamat. Aku mengangguk dan berterima kasih. Sungguh, ini keberhasilan kita semua. Sebenarnya keberadaan mereka juga sangat berpengaruh, tanpa dorongan semangat dari mereka, kami tidak akan sekuat tadi. Ya walau aku hanya merasakannya untuk beberapa menit terakhir sih haha.

Aku berjinjit sambil mencari Amanda. Rasanya aku ingin memeluk sampai tulang-tulangnya remuk. Dia selalu jadi objek pelampiasan kebahagiaanku setelah pertandingan hahaha.

Ah, itu dia.

"Titaaaaaaaaaaa!!!"

Ah, sial dia memelukku lebih dulu. Tapi aku memeluknya balik lantas tertawa.

"SelamatSelamatSelamatSelamatSelamatSelamatSelamatSelamat!!!" dia menghujaniku kata-kata selamat walau dengan tepukan ringan bolak-balik dipipiku. Tapi aku senang saja, karena senyum itu berhasil menghangatkanku.

"Makasih... hahahaha, ini gara-gara kamu juga, ini kemenanganmu juga.."

"Ah, gila.. aku bangga punya temen kamu! Keren banget, walau mainnya di akhir-akhir.. tahu nggak sih, kalo minjem istilah ibu pas nonton film India sih, kamu itu semacam... Lakon teko keri! Hahaha.."

Astaga, aku tertawa saja. 

"Traktir ya, Tit.. udah menang juga" katanya  mengharap disertai tawanya yang selalu aku suka.

"Ya, kalau aku ingat hahaha. Oh, ya. Da, mau pulang sekarang atau mau ngumpul sama anak-anak dulu? Kalo sekarang ayok deh, aku pengen cerita bany--" 

"Manda, mau pulang sekarang?--Eh, Hei! Selamat yaa.. kamu tadi keren banget mainnya!"

Eh?

Dahiku berkerut, aku bisa melihat Amanda sekarang terkejut bukan main melihat Ardi sudah berada di sebelahnya. Aku bahkan sempat tidak mempercayai apa yang aku dengar barusan. Hening antara aku dan Amanda, aku sendiri tidak tahu kenapa tidak bisa berkata-kata sementara Amanda menggeleng-geleng dengan wajah panik ke arahku.

Aku melihati Ardian dan Manda bergantian berulang kali. Wajah Ardi ceria dan benar-benar tanpa dosa. Dan wajah Amanda yang itu...

Nafasku berat sekali,  aku tidak mau berpikir macam-macam.. setidaknya jangan sekarang. tolong Tita berpikirlah jernih, "Aku mengerti. Oke, aku sama anak-anak dulu yaa.."

Bodoh kenapa sesak sekali. 

Aku berbalik badan, dan tiba-tiba saja denyut itu datang lagi. Pusing sekali.. tapi aku memaksanya untuk tidak menghalangi langkahku. Tiba-tiba saja aku ingin menjauh dari Amanda dan dia. Ya, aku bisa membaca semuanya sampai.

Sial.

Semuanya memburam. hilang. dan gelap.

_________________________________________

Maaf sekali untuk bersikap sangat telat seperti ini -_----
Dan maaf juga atas segala unsur geje untuk yang satu ini -_-----
Ohya maaf juga kalo cerita ini nggak jadi 2 part melainkan 3 part -_-----
Oke bye! i'm not really promise you about the next part to come soon XPv

3 komentar:

  1. aahhhhh bocah XD
    jangan bikin orang penasaran nih sma endingnya..
    jangan2 manda tadi??emmmmmm
    cepetan dibikin part 3 nya...
    *asahgolok #eehhh :p

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...