Jumat, 16 Desember 2011

Di Balik Hujan [cerpen]

2011


Hari ini hujan mulai turun. Gadis yang sedang duduk di bangku halte  depan sekolahnya itu mengeratkan jaket serta kacamatanya, menunggu Ayahnya datang menjemput untuk pulang bersama ke rumah. Ini sudah ia jalani setiap hari semenjak awal sekolah menengah atas, alasannya karena sekolah dan tempat Ayahnya bekerja tidak terlalu jauh dan selisih antar jam pulang mereka hanya terpaut dua jam saja. ya, "hanya".. itu yang dikatakan Ayahnya. Gadis itu tetap setia menunggu sambil membisikkan doa agar hujan segera reda karena sesungguhnya ia tidak terlalu menyukai hujan.

Gadis itu merasa ada seseorang yang duduk di sampingnya, ia yang sedang menunduk menoleh ke arah kanan dan mendapati seseorang disana. Wajah yang sama sekali tidak asing. Lagi-lagi ia harus bertemu dengan pemuda itu di jam dan tempat yang sama. Dengan suasana yang sama pula. Tanpa kata.

Mungkin pemuda itu tidak pernah tahu bahwa gadis itu diam-diam suka mencuri lihat sosoknya. Suka membisikkan salam tanpa balas hanya untuk pemuda itu.

Mereka bukannya tidak saling kenal. Mereka tahu satu sama lain. Gadis itu tahu nama pemuda itu Gilang, Gilang pun tahu nama gadis itu Mela. Sekedar itu saja, itu pun karena Mela adalah sahabat dari salah satu teman sekelas Gilang yang paling sering menyambangi kelasnya. Yang Gilang tidak tahu adalah bahwa ada yang berubah dari Mela. Ada makna lain dari setiap tatapan matanya saat memperhatikan Gilang.

Toh, ia sendiri pun tidak punya cukup nyali untuk berbuat sesuatu agar mereka bisa lebih dekat. Karena Mela tahu seperti apa Gilang. Dan dia belum berani mencoba melelehkan pemuda dingin itu. Mela hanya sedang bertahan.





***

Hari ini masih hujan. Sudah tiga bulan ini hujan mengguyur kota Surabaya. Mela masih sama, sendirian menunggu Ayahnya sambil memandangi hujan yang hari ini tidak terlalu deras. Tiba-tiba jantungnya melompat, ia mengenal sekali suara langkah itu, pelan memang tapi entah bagaimana caranya Mela bisa mendengar suara itu di sela-sela suara rintik hujan. Benar saja karena tiga detik setelahnya Gilang melewati Mela dan duduk disampingnya.

Masih sama. Jam, tempat dan suasananya. Semua hanya berjalan seperti biasanya. Walau Mela mulai merasa ada sesuatu yang menohok dadanya. Ada perih yang ia rasakan. Dia tahu bertahan terus-menerus tanpa bertindak tidak mudah, yang ia heran mengapa ia harus rela bertahan hanya untuk rasa yang ia anggap semu dan ambigu seperti ini.

Karena Mela bahkan sampai sekarang masih takut untuk mengakui dan menyimpulkan apa yang ia rasa.

Mela sontak menoleh ke sampingnya. Gilang sudah berdiri dan berjalan menuju seorang gadis yang mengendarai sepeda motor. Mela tahu itu kakak perempuan Gilang yang hanya beda dua tahun dengannya. Dan Gilang sekarang mengambil alih kemudi kemudian berangkat pergi meninggalkan Mela sendirian lagi dengan sisa-sisa hujan. Mela hanya sedang memandangi kepergiannya, seperti biasa.

***

Sally terkejut dengan apa yang baru saja diceritakan Mela, sahabatnya satu itu. Ia bahkan tidak pernah menyangka dalam mimpi sekali pun dengan apa yang terjadi antara Mela dengan pemuda--ralat--dengan teman sekelasnya yang bernama Gilang itu. Si manusia es itu.

"Kamu yakin dengan.... ini?" Sally mengangkat amplop putih yang tadi diberikan Mela.

Mela hanya menghela nafas, menarik ujung-ujung bibirnya membentuk senyum lalu mengangguk, "Iya.. jadi aku minta tolong banget ya, Sel. Karena aku... nggak bisa ngasih sendiri ke dia"

"Tapi kamu 'kan tahu Gilang itu kayak gimana.. aku bukannya takut sama manusia es itu. Aku cuma nggak mau kamu akhirnya sakit hati gara-gara dia.."

"Tidak akan apa-apa. Kamu cukup kasih itu ke dia. Aku tahu kok dia nggak bakal peduli, aku bukan minta dia balas. Aku cuma ingin menyampaikan. itu saja.." Mela berkata halus sekali, tidak terlihat seperti dia yang biasanya, "...biar nggak ngganjel.." Mela menunjuk tempat jantungnya berdetak.

Sally melihati amplop itu sekali lagi, menimangnya sebentar. Ia kembali meminta keyakinan dari Mela walau tanpa berkata apa-apa. Melihat senyum itu Sally akhirnya mengangguk juga lalu berangsur memeluk Mela.

"Aduh Melaaa.. aku mendadak kok sedih yaaa. Aku bener-bener nggak nyangka kamu yang kayak gini bisa suka sama orang, tapi sekalinya naksir orang kenapa yang begitu sih Meel.. aku nggak bakal tega kalau tukang penyemangatku ini bakal sakit hati atau apa lah namanya. Jangan suka galau ya, neng..:

"Yee, aku nggak pernah galau tauk!. Tenang..tenang.. nggak perlu terlalu khawatir. Kamu kenal siapa aku 'kan?"

Sally tidak mengerti bahwa surat itu bukanlah surat cinta yang berisi pengharapan untuk dibalas. Dia tidak mengerti bahwa Mela telah menyelipkan ucapan selamat tinggal kepada Gilang bersama dengan surat itu.

Pulang sekolah hari ini Sally menghampiri Gilang yang sudah diujung kelas. Sally tahu dari Mela bahwa selama ini dia pulang sore sekali untuk membantu menjaga, merawat dan menggunakan fasilitas perpustakaan sekolah. Hebat! bahkan ia yang teman sekelasnya nyaris satu tahun ini pun tidak tahu.

"Lang, buru-buru banget ya?"

"Eh, Sel. Nggak. Kenapa?"

Sally memandangi sekeliling, sebenarnya masih banyak anak di kelas ini ia merasa tidak enak kalau harus memberikan sebuah surat kepada si manusia es di depan umum seperti ini. Tapi Sally segera tersadar akan bahasa tubuh Gilang yang seolah sudah tidak sabar menunggu maksud Sally menanyainya. Sally segera mengambil amplop di tasnya.

"Aku mau nyampein ini. Dari Mela. Emm.. ya sudah gitu aja. aku... duluan ya, Lang. Daa" Sally buru-buru pergi. Jantungnya berdegup kencang, rasanya ia baru saja melemparkan bantal berduri ke Mela. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah bergumam, "Hidup bahagia ya, Mel.."

***

Hai Gilang!

Ini saya Mela. mungkin kamu nggak ingat. Tapi tidak apa-apa saya cuma mau menyampaikan sesuatu. Mungkin lebih tepatnya bercerita, jadi maaf sekali saya harus mengambil waktumu kali ini saja.

Waktu itu bulan November tahun 2010 kita masih kelas sepuluh saat itu. Dengan tidak punya malunya saya berani menyalahkan kamu atas lungsetnya soal ulangan Kimia kebanggaan saya karena kamu injak. Kamu memang tidak sengaja, tetapi saya tetap ngotot marah dan mencaci kamu sinis. Saya tidak peduli walaupun itu bukan kelas saya, karena saya kesal dengan kamu. Kenapa? Karena itu adalah pertama kalinya saya mendapat nilai ulangan kimia yang bagus. Padahal yang salah sebenarnya saya karena tidak menyimpannya dengan baik sehingga jatuh ke lantai. Waktu itu kamu hanya berkata "maaf" dan berangsur duduk begitu saja tanpa peduli dengan saya yang sudah bersungut kesal sama kamu. Sejak saat itu saya tahu nama kamu dan mungkin kamu pun tahu nama saya. 

Kemudian esok harinya sudah tidak terjadi apa-apa. Kamu seolah tidak mengingat kejadian waktu itu apalagi mengingat saya. Awalnya saya pun menganggap hal itu biasa-biasa saja dan mungkin memang tidak perlu diingat, tetapi saya baru sadar bahwa kamu setiap sore selalu menunggu di halte sama seperti saya. jarang sekali ada murid yang menunggu di halte pada jam segitu, kamu membuat saya penasaran, dan setelah saya selidiki barulah saya tahu bahwa kamu ternyata makhluk perpustakaan. Hehehehe.

Tahu tidak? Ada yang berubah disini. Di hati saya. Ada yang mulai menyalahi aturan dengan mata dan jantung saya. Saya suka diam-diam memperhatikan kamu walau kamu tidak tahu, dan jantung saya mulai berdetak tidak seperti biasanya. Dan aku.. selalu merasa senang saat kamu duduk disamping saya di halte. Saya merasa kamu temani.

Kamu tahu apa yang menyebabkan saya seperti itu?

Tahu tidak? Sudah laamaaa sekali saya ingin menyapa kamu, sekedar menyapa saja. Tapi mendadak hal sesederhana itu sangat sulit dilakukan. Bukan karena takut pada julukan kamu "si manusia es", lebih kepada saya yang menjadi tidak punya nyali, canggung dan malu. Aneh sekali bukan? karena bahkan jauh sebelum itu aku berani membentak kamu. Dan saya tidak pernah seperti ini dengan orang lain.

Kamu tahu apa yang menyebabkan saya seperti ini?

Saya tahu. Akhirnya saya mau menyadari bahwa saya memang menaruh hati padamu. Tapi kamu tidak pernah melihat saya karena saya sadar, saya hanyalah a dust. setitik debu. kecil, tidak terlihat dan tidak dianggap. Tidak apa-apa.. saya sama sekali bukannya mau menyalahkan kamu dan meminta kamu berbuat sesuatu setelah ini, karena saya sendiri yang memilih menjadi debu didepan kamu selama ini.

Jangan salah mengira.

Maksud saya menulis surat ini bukan apa-apa sebenarnya. saya sama sekali tidak meminta kamu membalas atau bertanggung jawab atau apa. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang selama ini saya rasakan. Saya tahu ini tidak penting untuk kamu. Tapi cuma ini yang bisa saya lakukan agar kamu tahu. Iya, saya cuma ingin kamu tahu.

Saya mencintai kamu...

Lihat? Bahkan saya kembali menjadi orang yang kamu lihat dulu. tidak punya malu. 

Terima kasih sekali bila kamu masih mau membaca sampai akhir surat ini. Maaf membuang waktumu dengan racauan bodoh saya.<$2Fi>

Kamu boleh buang surat ini karena aku pun..

Mela.


Gilang memandang kosong kertas itu. Ia terdiam lama sekali. Seperti ada sesuatu yang meninju perutnya saat itu juga. 

Dia melirik arlojinya, dengan cepat dimasukkannya surat itu ke dalam amplop dan menyimpannya ke dalam tas. Dengan tergesa-gesa ia pamit pada penjaga perpustakaan dan bergegas keluar menuju gerbang sekolah. Ia ingin ke halte itu sekarang juga dan berharap Mela masih ada disana.

Hujan. Gilang terpaksa berlari menuju gerbang hingga tibalah ia sekarang di halte depan sekolahnya. Ada Mela disana yang melihatinya datang dengan kondisi sedikit basah karena hujan. Demi Tuhan Mela sama sekali tidak berharap melihat pemuda itu sekarang. Benar-benar bukan detik ini.

Gilang dalam diam berjalan melewati Mela dan duduk disampingnya seperti biasa. Mereka berdua sama-sama menciptakan hening yang sama seperti sebelum-sebelumnya walau mereka menyadari ada yang berbeda dengan hari ini.

"Semuanya hanya berjalan seperti biasanya bukan?", Kata Mela dalam hati, ada sesuatu yang tidak diharapkannya meluncur dari ujung matanya.

Gilang yang mulai jengah dengan segala yang yang melayang-layang di kepalanya menoleh ke arah samping, dan ia rasakan lagi pukulan tinju di perutnya saat mendapati Mela baru saja menyeka pipinya. 
"Aku minta maaf.."

"...tapi kamu harus tahu.. aku sama sekali nggak pernah mengganggap kamu seperti debu seperti yang kamu bilang. Aku bukannya menganggap kamu tidak ada, aku hanya..."

"...tidak mengerti"

Mela terkejut mendengar kalimat tiba-tiba dari Gilang, tanggapan yang sama sekali jauh dari bayangannya. Manusia es satu ini...memang benar-benar baik sekali. Mela tahu itu.

"Aku mengerti. Terima kasih.." Mela mengalihkan matanya kearah langit.Ada helaan nafas panjang yang baru saja ia hembuskan, seolah beban yang ia pendam selama ini sudah bisa ia lepas saat ini. Hal yang baru saja Gilang lakukan sudah cukup untuk membawa pergi semuanya. Ia tidak akan mengharap lagi, buk`n?

"Mungkin bukan sekarang... tapi. Kita bisa mulai dari sekarang"

Mela menahan nafas. Mengulang-ulang kalimat yang baru saja diucapkan Gilang padanya beberapa detik yang lalu. Meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar, bahwa iya tidak salah menafsirkan. Ia menoleh ke arah Gilang dan menangkap wajah datar yang tampak tegang sekali saat ini.

Tiba-tiba tawanya meledak, membuat Gilang tampak kikuk luar biasa. Apakah aku salah bicara?, pikirnya.

"Terima kasih, Gilang.."

Dan senyum itu untuk pertama kalinya membuat jantung Gilang berdetak dengan ritme yang berbeda. Wajahnya saat ini semakin...tegang.

***

2012

Hari ini hujan. Mela masih menunggu Ayahnya menjemput di halte depan sekolahnya. Pemuda bernama Gilang itu masih ada disampingnya. Di jam yang sama. Di tempat yang sama. Hanya saja semuanya sudah tidak seperti dulu. Semuanya berangsur lebih indah bagi mereka berdua sejak empat bulan yang lalu. Saat Gilang akhirnya dapat membalas cinta yang diberikan Mela tepat setahun yang lalu.

Ya, semuanya memang indah pada waktunya.


-end-

Sudah berapa tahun sih saya nggak bikin cerpen? gila, datar-kaku-geje parah yak? -________-"

Yeah! saya akhirnya muncul lagi dengan cerpen baru, gak tau lah aneh-_- *oh ya semua cerpen saya kan emang aneh ya -u-a*
btw ini cerpen berending happy ending ya? tumben ya? tumpengan yuk ._. *halah ngomong opo*

Yang kebetulan baca monggo komen kecuali bagi kalian-kalian yang mau nyegeki saya *yek welekan XD* udah ah gak tau ngomong apa, emang daritadi saya ngomong apa sih? ini postingan apa sih? *kriiiiiiiiiiiiikkk



cerpen ini terinspirasi oleh: Halte di depan sekolah penulis dan Hujan kemarin sore.

2 komentar:

  1. bagussssssssssss tauuuuuuuu :D
    nggak tau saya yg lagi melow atau galow
    saya terharu dan berkaca2 #errrrrrrr
    4 jempol buat tatatatatatattatatatattatat!!!!! :D

    BalasHapus
  2. knapabagian akhir dari postmu yang ini seperti menyinggung seseorang ya? (erghem -__-
    hm well aku cuman mo berkomentar ini keren juga kok. Makna bahasanya dalem tapi mudah dicerna
    dan satu lagi I like it (y) :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...