Sabtu, 19 Januari 2013

Let You Go [cerpen]

Belum pernah aku begini sebelumnya.

Sesuatu tiba-tiba saja terjadi. Sesuatu yang dengan mudahnya mengombang-ambingkan alat penunjuk arahku. Kedatangannya tanpa aba-aba seolah membuat hari-hariku mendung kelabu seketika sedangkan biasanya cerah ceria saja. Benar-benar irasional. Di luar akal, prediksi, ramalan apapun itu sebutannya.

Tidak mungkin kan?

Belum pernah aku begini sebelumnya.

Menyangkal segala pertanyaan atas kepekaannya, memaksa senyum atas segala banyolan garingnya adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Tapi aku melakukannya. Akhir-akhir ini. Aku bahkan menghapus berkas-berkas namanya dalam pikiranku. Membersihkan segala jejaknya dalam setiap jengkal tubuhku, hanya untuk hari ini. Untuk seseorang yang saat ini duduk di depanku. Yang baru saja meminum sodanya. Kamu.

Aku tidak paham mengapa aku melakukan itu semua. Kemunculanmu dalam kehidupanku nyaris membuatku gila. Seminggu terlewati, dan siang ini kamu sudah berada di depan pagar rumahku. Membuatku yang masih bau asam dan rambut ala singa rimba melongo sekaligus mati gaya. Bahkan sampai akhirnya aku berada disini pun aku masih merasa belum sadar. Sungguh.

"Jadi apa kabar?" Tanyamu membuyarkan lamunanku.

Dan betapa satu pertanyaan pembuka paling wajar seperti itu membuatku gelagapan.

"Ba...ik kok. Kamu?"

"Sangat baik", yah dan lalu kamu tertawa begitu saja. Membuat pipiku menghangat entah mengapa. Mungkinkah cekungan dari kedua pipi itu alasannya? Toh aku tertawa kecil juga.

Lalu suasana mencair begitu saja. Kamu menenggelamkanku dalam pembicaraan, salah satu keahlianmu. Aku merasa diajak tour menyelami masa lalu. Dan aku sukses merindukan itu semua. Sangat rindu.





"Hahaha, oh ya.. gimana, kamu masih sering nggambar?" Tanyamu disela tawaku.

"Masih dong.. bahkan aku sering kolaborasi gitu sama Ecak. Seharian aku bisa bikin empat gambar sekaligus! Hebat nggak? Hahaha" Kataku bersemangat tapi lalu membatu sejak cekungan dipipimu menghilang digantikan oleh pertanyaan: siapa itu Ecak?

Segala kutukan meriuh dalam pikiranku. Tapi entah mengapa aku tersentak saat mendengar suara gesekan gelas minumanmu bersama meja. Aku merasa sedih. Sedih mendengar nama itu.

"Sya?"

"Ah, ya.. hehe Ecak itu.."

Aku menggigit bibir. Ada apa? Kenapa harus ragu? Apa yang perlu dipersusah? Bukankah ini jawaban yang sebelumnya selalu kamu bangga-banggakan?

"..pacarku."

Lalu tiba-tiba saja suasana yang melingkupi kita sedari tadi, membeku kembali. Aku pun semacam tidak ingin berkata apa-apa lagi. Untuk mendongak saja aku takut.

"Ciee.."

Kamu memecah keheningan, membuat jantungku berdegup kencang. Aku menemukan senyum ganjil dari wajahmu. Dan aku cuma sanggup menimpalinya dengan tawa. Kering.

Ha, lagi-lagi aku tidak mengerti.

Tolong jelaskan padaku mengapa kamu harus tiba-tiba muncul ke dalam hidupku? Mengapa kehadiranmu seolah membuatku linglung? Satu minggu kau menghantui aku dan hubungan satu tahun antara aku dan Ecak seakan hambar begitu saja. Aku seperti memendam semua kebersamaanku dengan Ecak hanya untuk menghadapi nostalgia bersama kamu.

Ini konyol.

"Kenapa?" Tanyaku padamu, pelan. Tapi aku tahu kamu sedang meraba apa maksud dari pertanyaanku,
 aku berharap kamu menangkap kesungguhan dari pertanyaanku.

"Tidak apa-apa", jawabmu setelah sekian lama. Dan aku benar-benar tidak puas.

Mengertikah kamu? Kedatanganmu itu sudah membuatku sedih lagi setiap malam. Bayangan lama menghantui dan terasa menyesakkan. Dan kamu hanya menjawab tidak apa-apa?

Ingatkah kamu? Akulah orang yang kamu abaikan begitu saja. Sebagai gadis yang menunggu dua tahun untuk mengungkapkan segala perasaannya padamu, rela mematahkan persahabatanku dengannya hanya karena sama-sama menyukaimu, yang sialnya cuma kamu hargai dengan...

"Terima kasih. Ingat?" Sindirku. Menatapmu putus asa.

Kamu tertawa tanpa suara, lalu menatapku sendu, "Iya, aku ingat"

"Aku patah hati, bodoh.."

"Aku minta maaf.."

"Kenapa kamu datang?"

"Karena aku perlu datang"

"Untuk apa?"

Kamu cuma memandangku. Seolah melawan emosi yang menyeruak keluar, yang berusaha aku tahan sekuat tenaga. Hanya dalam diam saja kamu seoalah berhasil membuatku kalah lagi. Karena aku akhirnya menyerah, membuang muka dan tertunduk.

"Maaf, aku benar-benar tidak pernah bermaksud.." katamu, "aku menemui kamu karena jujur aku kangen. Dan yah, kalau aku harus jujur lagi.. aku ingin menyampaikan sesuatu yang tidak pernah bisa aku sampaikan sebelumnya.."

Aku berhasil mendongak lagi. Mendengarkan betul-betul apa yang kamu katakan. Pengakuan bahwa alasan kamu tidak bisa menyandang status lebih dari sahabat  adalah kebelumsiapan mental kamu saat itu. Bukan berarti hal itu membuat kamu tidak bisa merasakan juga.

"Aku sebenarnya suka sama kamu, jauh sebelum kamu bilang, bahkan sampai detik ini. hahaha, kamu sekarang mungkin pengen ngetawain aku ya karena ini udah basi banget. Kadaluarsa.. maaf."

Kamu tertawa yang entah kenapa kali ini terasa menyesakkan. Walau kering tapi tetap saja menyakitkan.

"Ha ha ha.. lucu"

Aku mulai frustasi. Tanpa perlu menebak lagi otakku masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja aku dengar barusan. Aku ingin mengulang adegan tadi berulang kali agar aku benar-benar yakin. Tapi sampai akhirnya aku sadar apa yang aku dengar adalah sesuatu yang nyata pun, aku masih belum bisa mengerti.

Sisa siang itu dihabiskan oleh ketidakmengertianku dan wajah bentur-benturin-ke-tembok-able milikmu.

Satu pertanyaan menggumpal dalam pikiran: Jika aku seragu ini sekarang, benarkah sebenarnya selama ini aku masih menunggu kamu?

***

Aku sedang ingin membanting tubuh ke kasur.

Tapi sepertinya membentur-benturkan diri ke tembok ide bagus juga.

Bukan apa-apa.. aku hanya berharap setelah membentur-benturkan kepalaku ke tembok aku akan amnesia. Setidaknya amnesia untuk segala yang terjadi seminggu ini. 

Bayangkan saja, siapa yang tidak bisa gila ketika masa lalu paling pahit datang menghampirimu setelah sekian lama, hanya untuk menyampaikan kenyataan paling manis yang sudah terecap hambar dikikis waktu. Siapa yang tidak ingin terjun ke jurang saja ketika masa lalu yang didambakan, dulu, baru mengulurkan tangannya disaat sudah ada orang lain baik hati yang mengobati luka hatiku. Orang lain baik hati yang menyayangiku. 

Tidak seharusnya kan aku sebingung ini? Kadaluarsa is kadaluarsa, jika memaksa memakannya akan membuatmu lebih sakit. Lalu kenapa harus sesesak ini rasanya?

"Ecak, belum pernah aku sesedih ini"

Tolong aku. Lagi.

Aku mematikan ponselku ketika tanda terkirimnya pesanku datang.  Lalu menangis begitu saja. Menangisi si bodoh. Menangisi kamu.

Ecak maaf, maafkan aku.. sekarang apa yang  harus aku lakukan.. tolong aku..

.
.
.
.

Ini mimpi ya? kenapa semua putih?.

Acha!

Itu suara Ecak kan?

Acha! Aku gambar kamu lho.. maaf ya baru pertama kali nih gambar kamu, semoga sukaa

Acha kamu adalah alasan aku berani memoleskan warna dalam hidupku

Acha happy anniv! Ini lukisan kita waktu itu aku tambahin tulisan dikit, sekarang kamu simpen aja. Makasih ya buat setahunan ini, semoga masih ada dua, tiga, empat, sepuluh tahunan lagi.

Aku sebenernya suka sama kamu, jauh sebelum kamu bilang, bahkan sampai detik ini.

***

'Tok Tok Tok'

"Rasyaa? Udah tidur?"

Aku mengangkat kepalaku, berat. Mataku terasa....lengket. Sial. Jadi daritadi aku tidur dengan posisi menelungkup. Memalukan sekali.

Ngomong-ngomong kenapa ya kakak ngetok pintu?

Aku memutuskan untuk mencuci muka, berharap semua beban hilang bersama aliran air. 

Ketika kembali ke dalam kamar, entah kenapa mataku terfokus pada sesuatu yang menempel di dinding. Aku berjalan mendekatinya, meraba permukaannya. Menelusuri garis-garisnya. Menghayati setiap warnanya. Menerawang waktu dalam prosesnya. Mengeja tulisannya.

Lalu satu jawaban datang menelusup ke otak lalu ke hatiku.

i missed him, and i really need him.

yes he is.



Suara telepon rumah berbunyi. Aku tersadar sesuatu. Ponsel yang mati sama artinya dengan telepon rumah yang akan terus berbunyi.

Aku segera melompat keluar kamar, aku dapati wajah kakak yang baru saja ingin menjawab tetapi tidak jadi karena melihat wujudku. Aku memberi tanda peace kepadanya dan beranjak mengangkat telepon.

"Ha..lo"

"Astaghfirulloh, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Achaaa kemana aja? Kenapa sms gitu? Acha sedih kenapa?"

"Hehehehe maaaff Ecak nggak perlu khawatir, Acha cuma sedih karena kecapekan aja kok"

"Capek karena tadi habis kerja kelompok? Pantesan sampe ketiduran.. ponsel kamu mati karena lowbat ya?"

"Ngg, i..ya hehehe"

"Ya sudah nggak apa-apa. Acha nggak boleh sedih lagi ya. Insya Allah capeknya pasti kebayar sama hasil tugasmu nanti.."

Aku mengangguk, walau dia tidak mungkin bisa melihatku, tapi aku yakin dia bisa merasakan anggukanku. 

Aku senang walau harus memaksa bohong sekali lagi. 

Dan ternyata memang cuma dia yang bisa. Dia menolongku lagi. Mengobati lagi luka lama yang menganga perih. Mengusapkan obat dengan kata-kata lembut yang menenangkan. Mengembalikan semangatku dengan banyolan garing tapi lucunya.

Dia.

Kini jawaban telah kutemukan.

Dengan yakin aku nyalakan lagi ponselku, bersiap membalas pesan terakhirmu.

Dibawah pernyataan penantianmu yang sampai kapanpun itu. Aku dengan yakin dan penuh pengharapan membalas:

"Set me free, Ka. I don't wanna fall another moment into your Gravity. Sorry"

-end-

Paansih -__- 
Yak setelah sekian lama. Maaf kalo makin nggak canggih aja saya nulisnya -_- udah lama banget nggak nulis, ini aja muncul karena aku kayaknya bener-bener perlu meluapkan emosi (?)

Sebenernya aku pengen nonjolin karakter Ecak tapi gasempet dan gabisa :(( maafin..

lemme know if you read this story, kritik dan saran dipersilahkan :D

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...