Selasa, 09 Agustus 2011

Biru [cerpen]


Kawan, sebelumnya saya peringatin ya.. yang ini super gak jelas. Gak jelas gimana? Yaudah gitu pokoknya. 

Udah ya, saya udah meringatin lho, terserah mau baca atau nggak hehe :D.

***
Gadis berkuncir kuda itu berlari dengan tergesa-gesa seperti biasanya. Hampir setiap hari sepertinya ia harus bolak-balik berlari ke satu kelas ke kelas yang lain bila tidak ingin kehilangan menit-menit pertama dari klub-klub sekolah yang ia ikuti. Ya, dia bisa dibilang salah satunya yang paling bersemangat. Yang mengikuti lebih dari satu klub setiap harinya.

Gadis itu melirik benda berwarna merah yang melingkari pergelangan tangan kirinya lalu merutuk pelan mendapati masa dimulainya klub kedua—baginya—di hari ini sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu bila sesuai jadwal. Gadis itu mencoba mempercepat lajunya.

Seperti suatu adegan yang sudah lazim, dengan tidak beruntung kakinya tersandung akar besar dari pohon Akasia yang bersebaran dan berdiri kokoh di taman—luas—sekolah itu.

Gadis itu mengerucutkan bibir. Ini bukan pertama kalinya ia terjatuh dengan posisi dan situasi dilihat orang banyak seperti ini, bahkan di tempat yang sama. Ia heran saja.. sebenarnya apa salah kakinya pada akar itu sehingga ia harus selalu tersandung di lokasi yang sama.

Gadis itu segera berdiri sambil menenteng kotak P3K-nya. Ia memilih berjalan pelan-pelan dulu sambil melihat sekeliling sebelum memulai berlari lagi. Dia pasrah bila harus terlambat mengikuti klub musik kesukaannya toh sekarang pun memang sudah terlambat.

Tunggu. Matanya menangkap pemandangan tidak asing. Kepulan asap dibalik salah satu pohon akasia. Ia segera berlari dan memergoki seorang pemuda di baliknya. Gadis itu melipat tangannya lalu mengangkat sebelah alisnya.

“Ngapain masih disini? Kau tak ikut klub? Ayo, kita sudah terlambaaat..” Seru gadis itu.
Pemuda berbadan bungkuk itu mendongak, menatap gadis itu dengan wajah tak berekspresi seperti biasa lalu beranjak mematikan  batang berbungkus putih di tangannya, kemudian memasukannya begitu saja ke dalam saku celana.

“Ikut aku” Kata pemuda itu yang sekarang pergi tanpa embel-embel menepuk pundak, atau menarik tangan dan sebagainya. Pergi begitu saja. Gadis itu menganga tidak percaya, ia segera berbalik dan menyusul pemuda itu sambil berteriak,

“Hei mau kemana?? Main-mainnya lain kali saja.. kita sudah terlambat hampir setengah jam lho! Heeiii…”
Pemuda itu tidak menyahut dan tetap berjalan dengan kaki panjang serta badan bungkuknya menuju tempat tujuannya. Toh gadis itu mengikutinya.

Mereka sampai di atap gedung sekolah. Angin disana membuat helai-helai poni rambut gadis itu menutupi sebelah matanya. Sedangkan pemuda itu malah membelakanginya dalam diam. Hanya dasi yang tampak sesekali melambai tertiup angin.

“Ada apa kau mengajakku kesini?” Tanya gadis itu.

Tak ada jawaban.

“Hei, aku tanya ada apa kau mengajakku kesini??”








Pemuda itu tetap tidak menjawab, malah menyeret kakinya kearah tembok lalu duduk menyandar disana. Memandangi gadis itu yang sekarang melongo mendapati pertanyaannya hanya dijawab oleh desauan angin.

Gadis itu mengehela nafas, “Hhh, ya..ya.. aku tahu frekuensi suaramu memang terlalu susah untuk ditangkap oleh gendang telingaku. Tapi bukan berarti kau harus mengabaikan pertanyaanku. Kau membuatku bodoh berbicara dengan angin..” Sungutnya lalu mengikuti jejak pemuda itu, duduk menyandar tembok, di sampingnya.

“Aku hanya ingin mengajakmu berlibur” Jawabnya pelan.

“Ha??”

Pemuda itu melirik kesal, “membolos..”

Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Memang ia harus menajamkan indra pendengarannya bila ingin bercakap-cakap dengan pemuda itu.

“Membolos ya? Hmm, sepertinya menarik. Aku tak pernah membolos. Seperti apa membolos itu?” Tanyanya.

Pemuda itu melirik lalu menggeleng-geleng heran, “Ya seperti sekarang” jawabnya tetap saja rendah, tidak jelas dan tanpa intonasi.

“Oooh.. aku mengerti.. jadi membolos itu tidak mengikuti klub ya? Memangnya boleh? Heii kita kan belum izin ke Bu Erika!!”

Pemuda itu benar-benar menoleh sekarang, tertawa kecil melihat ekspresi bodoh—menurutnya—gadis itu.

“Hei! Kau tertawa! Baru kali ini aku melihatmu tertawa..” Seru gadis itu ceria, “ngomong-ngomong kenapa kau tertawa?”

Si Pemuda berhenti tertawa lalu menarik ujung bibirnya. Tersenyum kepada langit senja, “Tidak apa-apa..”

“Bohooooong……… kenapa? Ayolaahh..”

Lagi-lagi pemuda itu tidak menyahut.

Gadis itu berdecak, “kau itu menyebalkan sekali sih..” katanya lalu menyandarkan kepalanya ke tembok. Memeluk kotak P3K-nya didepan dada. Ikut memperhatikan lukisan berhiaskan semburat warna indah diatas sana.

Pikiran keduanya riuh. Sama-sama memikirkan sesuatu yang abstrak. Abstrak itulah yang lama-lama membentuk suatu permasalahan berupa kenangan hambar. Yang sama-sama mereka simpan ke dalam sebuah peti mati, untuk siap mereka kubur… walau masih dalam keraguan.

“Kenapa kau aneh sekali?” Tanya pemuda itu memecah keheningan.

“Eh?” Gadis itu menoleh dan mendapati pemuda itu tidak menatapnya,jemarinya mengapit sebuah batang untuk ia hisap, gadis itu berdecak “buang rokok itu!”, perintah gadis itu tajam. Sukses membuat pemuda itu menghentikan kegiatannya. Ia melepas batang itu dari sela-sela mulutnya lalu menjawab,

“Tidak bisa” Pemuda itu tersenyum. Lalu mulai lagi dengan menyalakan korek apinya.

“Tolong. Untuk aku setidaknya.. berhenti merokok..” Desak gadis itu, “Bukan hanya karena bahaya-bahaya rokok dari artikel-artikel di internet yang aku baca, tapi juga untuk kamu agar tidak dikeluarkan dari sekolah. Aku heran, kita ini bersekolah di Hazusa yang jelas-jelas mempunyai aturan tidak memperbolehkan siswa-siswinya merokok, memakai narkoba dan lain-lain.. tapi kenapa kau begitu santai menyimpan benda itu? Kenapa juga kau tidak ketahuan oleh pihak sekolah? Kau itu terlalu hebat atau bodoh atau apa sih?”

“Rokok bagiku adalah sepiring nasi bagi manusia pada umumnya. Lagipula kenapa kau begitu mempedulikanku?, dan kenapa juga aku harus berhenti merokok demi kamu? Memangnya kau siapa?”

“Aku temanmu. Kau tidak mengerti kah? Rokok itu Cuma akan membuat organ dalammu rusak.. bukankah dibungkusnya pun tertulis jelas?.” Sahut gadis itu, “Menurutku perokok itu orang terjahat yang tidak peduli dengan sekelilingnya. Kau yang merokok tapi sekelilingmu juga kena imbasnya. Kau tak peduli dengan keluarga dan kawan-kawanmu ya?”
Api yang baru saja berhasil tercipta dari benda kecil itu padam tertiup angin. Hanya karena dua kata tadi, 

“Aku tak punya kawan. Dan keluargaku pun tidak peduli padaku, eh?” Jawabnya janggal, tapi setelah itu ibu jarinya bergerak lagi tetap bersih kukuh menyalakan korek apinya.

“Tapi kau akan mati!”

Pemuda itu berhenti bergerak seketika, saat kalimat itu berhasil menusuknya. Ketika ia akhirnya berhasil menciptakan api dari sebuah korek ditangan kanannya. Ia memandang kosong api itu. Pada detik ke dua puluh dia meniup apinya lalu meletakkan rokok dan koreknya di lantai semen tempat mereka duduk.

“Bukankah semuanya memang akan mati?” Pemuda itu menatap mata bulat gadis disampingnya, baru kali ini ia benar-benar menatap seseorang. Gadis itu sempat terkejut, tapi tampak tak mau kalah ia tetap menyahut.

“Tapi kau akan mati lebih cepat dengan benda itu”
Pemuda itu tidak berhenti menatap gadis disampingnya ini. Bertanya-tanya. Kenapa gadis itu aneh sekali. Kenapa ia yang kebal akan peringatan, nasehat dan sebagainya ini mau diam dan menuruti kata-katanya. Kenapa dia yang selalu melihat orang disekelilingnya sekilas saja ini bisa mengingat wajah gadis ini?.
Oh Yaah, bagaimana mau tidak ingat sih kalau hanya gadis ini yang mau mendekatinya, yang mau berbicara dengannya walau ia jarang menanggapinya. Yang mau memperlakukannya seperti orang biasa lainnya. Yang bahkan satu-satunya orang yang peduli padanya setelah ‘orang itu’.

“Memangnya kenapa kalau aku lebih cepat mati? Bukankah itu ide bagus?”
Pertanyaan konyol. Tapi pemuda itu mengucapkannya dengan nada serius, atau ia memang benar-benar bertanya?. Ia sama sekali tidak terlihat sedang bercanda. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan ia dapat dari gadis yang sedang ia tatap lekat-lekat ini matanya.

“Karena kalau kau mati… siapa yang akan aku temui disaat aku sendirian? Ini bisa jadi alasan paling sederhana mungkin untukmu. Tapi memangnya kamu tidak pernah punya pikiran bagaimana perasaan……”

Pemuda itu mengerutkan kening. Sebenarnya gadis itu sendiri tidak yakin dengan apa yang akan diucapkannya. Karena kalimat itu sepertinya perlu ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Bagaimana perasaan ayah ibumu bila kau mati?.” Keduanya terdiam, “bagaimana perasaan mereka bila mendengar kau mati karena benda berbobot ringan itu?”, lanjut gadis itu lebih lirih.

Mereka berdua mematung. Udara semakin dingin seiring langit yang semakin gelap. Gadis itu menunduk. Otaknya berdebat sendiri. Pemuda itu berulang kali menarik nafas, seperti sedang bersiap-siap ingin melakukan sesuatu. Apakah ia akan marah pada gadis itu?. Bagaimana kalau ia meledak?.

Tidak. Untungnya dia tidak meledak. Raut wajahnya nampak menerawang.

“Kau tahu? Orang tuaku tidak pernah peduli padaku. Sejak kecil aku sudah seperti budak mereka. Mereka egois, selalu memaksaku menuruti apa yang mereka suruh tanpa sekali pun mendengarkan apa yang aku katakan. Kakakku seorang pengangguran, harusnya dia kelas dua belas sekarang, tapi dia dikeluarkan dari sekolah saat ia baru saja menginjak kelas sepuluh. Dia juga yang mengenalkanku pada rokok, entah untuk tujuan apa”

“Orang tuaku tidak melarangku merokok, mereka mungkin tidak akan peduli bila aku akan mati dengan benda itu. Mereka berdua sibuk mengurus kedai bobrok mereka, tanpa peduli aku.. apalagi kakakku. Aku tidak tahu sudah berapa benda yang dicuri dan dijualnya. Aku tak tahu berapa total uang yang berhasil ia minta paksa dari orang-orang. Aku tidak tahu berapa kali ia masuk dan keluar penjara..  karena orang tuaku pun tidak peduli, jadi untuk apa aku peduli dengan mereka?.”

“Kau tahu? Aku lebih sering kabur ke tempat pamanku. Ia tak punya istri, ia juga bukan orang yang berada, tetapi daridulu aku selalu aman disana. Dia sama sepertimu satu-satunya yang peduli padaku, yang melarangku merokok. Dia yang mengajariku bermain biola. Dan dia yang menyuruhku bersekolah disini. Sebenarnya aku sama sekali tidak ada niatan. Biaya sekolahku diringankan karena kepala sekolah kita adalah kawan lama pamanku.. dan tetap saja, pamanku yang menanggung biayanya..”

“Kau masih beruntung. Harusnya kau memanfaatkan itu untuk menjadi orang yang lebih baik dari orang tua dan kakakmu. Jangan kecewakan pamanmu..”

“Ya. Mungkin. Tapi toh aku tak punya tujuan hidup”

Gadis itu memain-mainkan jarinya. Menyimpulkan bahwa kondisi pemuda di sebelahnya ini tak jauh berbeda dengannya. Pemuda itu membuatnya ingin bercerita juga. Ia ingin memberinya semangat.

Tapi… dia sendiri tidak tahu harus berkata apa.

“Sekarang kau tahu kenapa aku lebih baik menjadi orang asing di sekolah ini daripada harus bersusah payah mengenal orang-orang tidak jelas disini”

“Kau aneh. Karena tidak dipedulikan oleh orang tua dan kakakmu kau memilih menutup diri dan menyendiri seperti orang bodoh..” Gadis itu menekuk lututnya agar bisa ia peluk, “Kau tahu? Aku tidak pernah punya teman. Sama sekali. Aku terlahir sebagai anak tunggal dengan kedua orang tua yang lebih mementingkan pekerjaan mereka daripada keadaan anaknya. Aku selalu ditemani puluhan bahkan ratusan pelayan yang mungkin peduli padaku… tapi tetap saja. Aku selalu merasa sendiri di rumahku”

“Orang tuaku hanya pulang… hhh bisa dihitung dengan jarilah. Dan sekarang aku tak mengerti tapi aku tak mengharapkan mereka pulang. Aku tidak pernah bersekolah, mereka mengirimkan beberapa guru secara bergantian yang mereka sebut dengan sebutan sistem home schooling. Aku jarang keluar rumah karena percuma saja tetanggaku tidak ada yang sebaya denganku..”

“Bersekolah disini adalah satu-satunya keinginanku yang aku minta pada orang-orang rumah setelah aku menemukan website sekolah ini. Sekarang bayangkan betapa senangnya aku. seperti burung yang baru saja dilepaskan dari sangkarnya!”

“Akhirnya aku menemukan berbagai macam orang disini, mengikuti segala klub-klub menarik yang tidak pernah aku tahu, merasakan kehangatan guru-guru disini yang benar-benar peduli dan perhatian pada murid-muridnya..” Gadis itu tersenyum tipis, “Makanya jangan heran kalau aku seperti orang serakah yang mengikuti hampir semua klub di sekolah ini..”

Hening.

“Aku dan kamu itu sama. Cara kita menjalani hidup ini saja yang berbeda. Mungkin bagi mereka aku dan kamu itu aneh, tapi aku tahu kita sama seperti yang lain.. yang juga butuh orang lain untuk kita berpegangan saat akan jatuh. Dan kau… punya aku. Kita berdua teman.. walaupun orang tuaku tidak peduli padaku tapi aku masih punya teman dan itu kamu. Begitupun sebaliknya. Kau harus percaya padaku.”
Pemuda itu merasakan sesuatu yang aneh. Dadanya sesak. Ia tidak mengerti. Mungkin ia akan menangis. Mungkin ia akan terlihat seperti pecundang. Tapi mendengar kata-kata polos gadis disebelahnya ini… entahlah membuat hatinya terbuka. Ia bisa merasakan ketuluusan dari orang yang bernasib sama itu.
Mereka sama. Sama-sama haus akan rasa kepedulian. Sama-sama merasa sendiri. Mungkin Tuhan memang adil mempertemukan dua orang dengan kondisi sama yang memiliki cara hidup berbeda, agar mereka bisa saling mengerti dan melengkapi.

“Kau.. tidak terlihat seperti orang yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang… tapi, boleh aku pinjam?”
Pemuda itu menaruh kepalanya diatas pundak gadis itu. Memejamkan matanya. Gadis itu terkejut bukan main, matanya melebar, menegang untuk beberapa detik. Tak lama kemudian ia mulai merasakan bahunya basah. Astaga, ,menangis kah?. Isakannya terdengar lirih. Dalam.

“Tolong, jangan menangis..” Kata gadis itu menahan selaput bening rapuh yang memenuhi kelopak matanya. 

Tak ada jawaban, ia semakin merasakan basah yang lain di bahunya. Mengundang bening di mata bulat gadis itu untuk luruh perlahan.

“Apapun yang terjadi kau jangan berputus asa seperti itu. Kau harus yakin bahwa pasti ada seseorang yang peduli padamu. Tidak mungkin Tuhan tega membiarkan umatnya sendirian. Kau tidak perlu khawatir menjadi manusia gagal, paling tidak berguna dan menyedihkan di dunia. Kau punya aku kita harus berjuang sama-sama. Kita berteman kan?”

Pemuda itu menegakkan posisinya, menghapus jejak basah diwajahnya. Tersenyum. Senyum paling tulus dari yang pernah dilihat gadis itu.

“Terima kasih. Kau membuatku mengerti..” Kata pemuda itu, “Darimana kau pelajari kalimat-kalimat tadi?”

“Terucap begitu saja” Gadis itu tertawa kecil walau air matanya belum juga berhenti mengalir. Pemuda itu tersenyum lagi. Semangatnya mulai tumbuh, ia merasa bisa melakukan apa saja.

“Kau benar. Aku akan meninggalkan rokok ini disini. Dan bila rokok ini ditemukan, aku siap menjalani hukumannya..”

“Eh? Bagaimana kalau kau dikeluarkan??”

“Tak akan, kalau pun iya, aku akan kembali tahun depan..” Kata pemuda itu, masih dengan suaranya yang tidak jelas. Tetapi gadis itu tersenyum, mengerti. “Sudah gelap, jadi kita akan kembali ke asrama?”

Gadis itu mengangguk semangat.

“Tunggu. Kita belum pernah benar-benar berkenalan. Bisa kita mulai lagi?” Kata pemuda itu.

“Baiklaah..” Gadis itu senang, ia segera menghapus air matanya. Bergegas berdiri.

Pemuda itu mengulurkan tangannya, dengan kedua sudut bibir melengkung senang sekarang ia mengucapkan namanya, “Bagas..”

“Kara..”
-end-

Iki opo jeeeeh -_________________-.
Geje ya? Nggak ngerti juga. Tau nggak sih? *enggak* ini aku ngetiknya lamaaaaaa banget. Sepotong-sepotong, berhari-hari. Pas ngetik juga, mikir, hapus, ganti, ketik, mikir, ganti. Jadi nggak selesai-selesai. Saya merasa yang satu ini berbelit-belit.. -.-v.

Hehe, sekilas info aja, sebenernya cerpen ini bisa dibilang salah satu adegan dari cerbung aku yang males aku lanjutin -_-v. dan nama Bagas itu sebenernya bukan Bagas, tapi Radit ._. tapi takutnya kalian pada bosen rodat-radit mulu jadi saya ganti deh, lagian aku emang punya obsesi bikin tokoh dengan nama “Bagaskara”, artinya ‘Matahari’ sama kayak “Raditya” juga sih :p.

Okeh, kurang lebih berbelit-belitnya.. saya mohon maaf. bila ada yang tidak sengaja baca mbok ya monggo saya minta kritik, komentar dan sarannya biar aku bisa bikin yang lebih baik lagi hehe. :D

Okeh, udah kebanyakan ngomong yaaah.. saya minta maaf yaah.. sayah tawakal ajah.. (?).
Sayonara!


Nb: aku bener-bener kehabisan ide mau ngasih cerita ini dengan judul apa-_-v
-GentaRP-

1 komentar:

  1. adeeeeeuuuuuuhh.. kyaknya ini imajinasi berdasar "pengalaman pribadi" ihihihi. formal bgt cah bahasanya, tumben. ide ceritanya standar sih, tapi kata2nya bolehlah :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...