Rabu, 17 Agustus 2011

Sayonara [cerpen]

Sayonara [cerpen]
Well, hai! Iya, aku abis bikin cerpen. Dan cerpen yang ini bisa dibilang (lagi) lanjutannya Lalu, Aku Mengerti dan Ya, Aku Terima .___.V. yaaah begitu dah. Sekuel yang kedua ini sama aja kok, sama-sama geje. Oke, yang mau baca monggo. ._.
***
Aku mengeratkan tas dibahu. Berjalan lurus dengan langkah pasti menuju ruang tunggu keberangkatan. Aku mengangguk seraya tersenyum tipis kearah bapak yang sedang bertugas saat tas-tasku berhasil lolos mesin pemeriksaan. Setelahnya, aku tenteng lagi tas-ku sembari menghela nafas cukup panjang. Kepalaku sedang mencari-cari, mencoba menemukan bangku kosong untuk aku duduk. Mataku menemukan dua bangku kosong di sebelah seorang wanita yang menurut perkiraanku berumur 30 tahunan.
Aku langkahkan kakiku menuju tempat itu. Wanita itu sedang sibuk dengan smart phonenya saat aku dengan basa-basi meminta izin duduk di sebelahnya. Tapi wanita itu segera menoleh, tersenyum seraya mengangguk mempersilahkan sebelum kembali menekuni smart phonenya. Aku merasa sedikit lega.
Sebentar lagi.
Sebentar lagi waktunya datang. Setelah ini semuanya akan baik-baik saja.
Aku menepuk tanganku pelan, memantapkan diri bahwa ini jalan yang terbaik. Ini juga adalah salah satu usahaku untuk menenangkan diri dari rasa gugup. Tentu saja aku gugup, ini adalah pertama kalinya aku menetapkan keputusan besar.
Aku melirik jam tanganku, rupanya masih ada 30 menit lagi sebelum pesawatnya datang. Ya, aku akan pergi. Pergi jauh dari Indonesia. Bukan, aku tidak sedang melarikan diri dari keluargaku seperti tragedi artis remaja fenomenal dua tahun yang lalu. Aku pergi untuk menuntut ilmu disana. Di negeri orang—
Negeri orang—dan rupanya mataku belum lepas dari pergelangan tanganku. Ya, walaupun fokusku sudah tidak kearah arloji lagi, melainkan kearah… benda lain yang melingkari pergelanganku. Aku merabanya, tersenyum kecut.
Gelang.
Ya. Gelang. Gelang itu.
“Taraaaaaaa!! Tunggu!”
“Mana tanganmu?? Sini deh… sudahlaah, sini…”
“Naaah, gelang ini dari aku. Kamu aku kasih ini karena kamu termasuk sahabat terbaik aku. Makasih ya, Ra buat selama ini! Hahahaha.. jangan sampai hilang! Langka tuh..”
Ya. Ini dari dia. Untuk aku. Karena aku. Sahabatnya. Begitu katanya.



Aku senang. Aku yang dulu bukan apa-apa di matanya. Aku yang dulu bahkan hanya pengagum bodoh yang sering memperhatikannya dari kejauhan bisa menjadi temannya. Bahkan dia sendiri bilang aku adalah sahabatnya. Aku. Senang. Sekali.
Aku menurunkan tanganku. Menunduk.
Harusnya aku senang dengan semua itu. Harusnya aku bersyukur. Harusnya aku tidak perlu menjadi orang tamak yang malah mengharapkan sesuatu yang lebih dari seorang sahabat. Harusnya aku puas dengan semua itu. Harusnya seperti itu.
Nafasku berat. Aku menegakkan posisi dudukku lagi, menyandarkan punggungku ke kursi.
Aku tahu. Dulu, aku sendiri yang bilang bahwa aku senang menjadi temannya, karena menjadi temannya bukan lagi hanya melihat tawanya dari kejauhan, tapi juga turut tertawa dengannya. Aku senang, amat senang. Tapi siapa sangka?, turut tertawa bersamanya bukanlah hanya sekedar tertawa, tetapi membuatku hidup di dalam dunianya. Dunianya yang membuatku luluh, yang membuatku lemah lagi yang akhirnya mengundang impian konyol yang sempat aku sangkal untuk aku harap lagi.
Salahkah?
Aku telah dipercayainya. Dan aku telah menemaninya disaat suka dan duka.
“Aku putus sama Merin”
“Haha. Ya.. dia yang memutuskannya. Aku juga nggak ngerti. Dia bilang begitu saja.. dan aku Cuma diem waktu dia senyum minta maaf dan pergi. Astagaaa, banci banget ya, Ra..”
Kita sama-sama saling memberi semangat.
Yeah!! Kita siap buat UNAS besooook!!”
Lalu,apalagi yang berhak kau inginkan Taraaa?!.
Tangan kananku bergerak, mencoba melepas ikatan-ikatan tali gelang itu. Belum sampai lepas memang, karena aku tiba-tiba saja mengurungkan niat untuk melepas gelang itu. Terlalu.. berat rupanya. Mungkin tidak apa-apa kalau hanya gelang itu yang tersisa.
Aku menarik nafas, mencoba menetralkannya seperti biasa.
“Kau baik-baik saja? Kau nampak gelisah..” Wanita disebelahku menepuk bahuku pelan.
Kaget, dengan sedikit salah tingkah aku menjawab, “Ah- nggak apa-apa, hanya sedikit… gugup. Hehehe..”
“Tenang, semuanya akan baik-baik saja..” Wanita itu tersenyum ramah.
Aku mengangguk.
Benar. Semuanya akan baik-baik saja. Aku merogoh saku jaket, mengeluarkan ponsel. Inilah saatnya. Segera aku membuka fitur SMS. Jari-jariku mulai mengetik huruf demi huruf.
Tunggu. Terlalu berlebihan sepertinya kata-kata yang baru saja aku ketik. Aku hapus semua kalimat-kalimat itu. Setelah menimbang-nimbang, jemariku kembali mengetik. Kali ini tidak panjang, tidak berbelit-belit dan tanpa basa-basi. Aku tersenyum puas dengan apa yang baru saja aku ketik. Aku menyimpan pesan itu kedalam draft. Aku belum mau mengirimnya sekarang.
Saat aku keluar dari fitur sms, aku tertegun sebentar melihat tanggal hari ini. Tanggal keberangkatanku untuk pergi.
Aku meerogoh lagi saku jaketku yang lain. Sebuah kartu. Kartu provider baru. Setelah mengirim pesan ini aku memang berniat akan mengganti nomor ponselku.
Bukan apa-apa, aku hanya ingin menghilang dari dunianya.
Suara dari speaker menggema, membuyarkan lamunanku. Ah, pesawat yang akan kunaiki sudah tiba rupanya. Beberapa orang mulai berdiri.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Sudah tiba.
Aku buka draft pesanku tadi. Setelah membaca satu kali lagi, dengan yakin aku kirim pesan itu. Laporan terkirim segera aku dapat dan aku tersenyum. Aku mematikan ponselku. Memejamkan mata dan menempelkan ponselku di dada. Jantungku berdetak kencang.
Semuanya berputar-putar dalam ingatanku. Senyum, tawa, tingkah, segala ekspresinya tergambar secara hitam-putih.
“Kasihan banget sih kamu, Dit.. udah disekolahin susah-susah sama bapak-ibumu, kerjaannya malakin jajan orang di sekolah”
“Loh, kan kerja sambilan..”

“Aku suka banget sama karakter kamu. Idola banget laah. Menarik, jadi pengen aku jadiin temen. Kamu sudi kan jadi temenku? Hahahaha...”

“Ah, jangan galak-galak kek..”

Ekspresi itu.

“Emmm.. kita kan temen ya, Ra..”

“Woooo, nyoba ngelawak buu? Ahahahaha..”

Tawa itu.

“Ngerjain PR bareng ya, Ra.. please.. pleaseee…”

“Aku nggak bisa bayangin gimana UNAS nanti.. kamu dari sekarang aja udah les macem-macem, sedangkan aku? Hadeeeh, pas sekolah aja masih suka puyeng sendiri. Aku nggak siap, Ra..”
“Kita kan bisa belajar bareng, Dit!”

“—Ha! Itu teori dari J.J Thompson kan? Inti atom bermuatan positif dan elektron tersebar seperti roti kismis! Iya kan? Iya dong? Jangan bengong, Ra! Aku bener kan? YES!”

“Ra, aku pengeeeeeeeen banget bikin olahraga Voly tuh beken di Indonesia kayak badminton sama sepak bola gitu. Voly mungkin emang tenar, tapi kayaknya jaraaang gitu yang punya idola atlit voly, aku merasa terasingkan.”
“Hahahahahahaha......”
“Ck, selalu ketawa…”

Ekspresi itu.

“Kamu itu sahabat paling oke, Ra! Udah pinter, bisa diajak curhat, jago ngasih solusi walaupun kadang nggak jago juga, eh haha. Kalo ngelawak jayus.. tapi nyenengin hahahahaha…”

“AKU LULUS RAA!! KAMU LULUS! KITA LULUS!!! KITA SEMUA LULUS!!!”

Sorakan itu. Pelukan itu. Bertepuknya telapakku dan telapak tangannya.

Aku tertawa kecil. Saat aku membuka mata, antrian disana sudah tinggal sedikit lagi. Aku menyeka mataku yang sedikit basah. Tidak, aku tidak akan menangis.
Aku berdiri, bergegas menyandang tas-ku dan mulai berjalan setelah memasukkan kartu, ponsel ke dalam saku.
Aku mencintainya. Dan aku akan melepasnya. Dengan menghilang dari hadapannya semuanya akan berubah. Aku memang melarikan diri dari dia. Aku pecundang. Terserah lah kalian mau sebut aku apa, yang aku yakini aku juga punya mimpi, dan aku tidak boleh terus-terusan terlarut pada sesuatu yang tidak pasti. Aku tidak mau jadi orang bodoh yang mati-matian menahan diri, membohongi diri apalagi membohongi dia.
Mungkin orang lain akan mengira aku adalah orang yang kurang bersyukur dengan ia yang bahkan sudah menjadi sahabatku.
Kalian tidak sepenuhnya benar. Pada akhirnya aku bersyukur.
Aku amat bersyukur telah mengenalnya.
Selamat tinggal…
***
Tawa laki-laki itu terhenti oleh pekikan ponselnya, menghentikan tawanya yang sedang bercanda dengan kawan-kawannya yang lain. Ia segera meraih ponselnya dan senyumnya merekah seketika saat membaca nama pengirim pesan itu.

From: Tara tarak tung! :D
Happy Birthday, Radit..
Be better and God bless you.. J
-end-

Aku.. merasa aneh dengan yang satu ini. -.-
Eeeee… lagi-lagi aku bikin sekuelnya TaRadit. Hehehe.. eeeeeee…
Yasudahlah. Nggak mau ngomong macem-macem. Hehehe ._.
Eh, yang kebetulan baca, jangan sungkan-sungkan bagi kritik, sarannya yah.. saya seneng kok dikasih kritik. Kalo emang ada yang aneh, caci saja Radit.. *eeh XD
Udah ah, Sayonaraaa!! :D

-GentaRP-




2 komentar:

  1. Assalamualaikumwarahmatullahiwabarokatuh
    sebelumnya saya ingin menngucapkan terimakasih kepada tuhan yg maha esa, karena atas rahmatnya saya diberi kesempatan untuk membaca dan mengomentari cerpen ini.
    ehm..
    MALES AH KA GENTA AH MALES AHH~ #plakk *gajelu*
    AMASAAAA TARA DISIKSA MULUUU -________-
    KASIAN TAU GAK ITU KENAPA LAGI PAKE PERGI JAUH MANA GANTI KARTU LAGI -________________-
    GABISA YAH TARA SAMA RADIT BERSATU GITU U,U
    aku merasa jadi tara tau, soalnya asfghjouytrru --''
    TAPI KEREEEN KAAAKK \(^o^)/
    makin bagus dan makin mudah dicerna(?) makin kerasa feelnya u,u
    aq jadi sedih loh pas tara nginget kenangan sama radit#eaa
    AAAA POKOKNYA INI BELUM SELESAI
    BIKIN SEKUEL LAGI YANG HAPPY END! #perintah
    awas gak lu *nyodorin bogem*
    iiih becanda deng :D PEACE yah hehe

    BalasHapus
  2. Hiks.. galau.. no komen.. markotoplah..

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...