Jumat, 07 Januari 2011

Fireworks in the middle of Train Accident [cerpen]

Setdaahh.. judulnya metesek sanadth!! -_-
Ah, judulnya kebagusan kaya’nya.. gak jadi deh.. (?)
Halah, gak ngurus wes.
Haaii!! Aku bikin cerpen lagi lhoo!!! (setelah mengalami masa kebutekan yang amat sangat panjang) *lebee*, walau ceritanya ntar gak bakal sekeren judulnya.. tetep baca yee :p
Eeee, aku rada’ gak yakin mau ng’post soalnyaa.. eerrgghh aneh! Geje buuuaanggettt!! -_-
Jadi aku butuh komentar dan kritik kalian, walupun itu kritik paling sadis! yayaya.. oke, cekidot
“Achaaa.. Achaaaa.. kamu dimana, dek?” Angel berteriak mencari adiknya yang segera berlari begitu mendengar suara petasan kembang api, yang—mungkin—dipetaskan oleh warga kampung sebelah.
Angel remaja yang sedang mencari adiknya itu, sedang berjalan ke arah sebuah perkampungan. Mengikuti arah pergi Acha.
“Yaelah.. Acha! Mau ngapain kesana?”
“Liat, Kaak! Kembang apinya baguuss! Waahh..” Seru Acha, sambil sedikit menyipitkan matanya, saat kembang api itu meledak menjadi kepingan cahaya yang indah. Senyuman terukir diwajahnya saat ini.
‘tuuuuuuuuuuuttt’
“Cha! Jangan berdiri di rel gitu, mau ada kereta lewat, sayaang!!” Angel berlari.
“Acha mau liat Kembang Api.. yeee..”
“Acha lari, Chaaa..”
‘Tuuuuuuuuutttt’
“Aaaaaaaaaaaaaaa!!!!”
“Achaaa!!”
‘DAR!’
4 tahun kemudian...
‘DAR’
“Aaaa!! Stop! Stop!” Aku menutup mataku. Tanganku menutup kedua telingaku rapat-rapat, seolah yang aku lakukan dapat menyumbat telingaku, agar tidak bisa mendengar suara kembang api itu. Aku selalu takut mendengar suara kembang api, seakan-akan ledakannya menekan seluruh nafasku hingga sesak.
Suara Mama yang sedang berteriak serta isakannya terdengar beradu dengan suara kembang api ini. Samar-samar aku juga mendengar suara Papa yang menenangkanku. Suara semakin beradu sampai pada akhirnya suara kereta api dan teriakan pilu Acha mendengung.
“Ngel! Angel!”
Suara itu. Aku tidak peduli, aku Cuma berontak.
“Ngel! Kembang apinya udah selesai..”
Perlahan kubuka mataku. Semua teman-temanku melihat kearahku sekarang. Aku turunkan kedua tangan yang menutupi kedua telingaku. Masih gemetar.
“Ngel? Kamu nangis.. kenapa?” Tanya Zahra khawatir. Ia langsung memelukku.
Tubuhku gemetar. Rasa takut itu belum hilang. Entah, mungkin Zahra mengisyaratkan pada yang lainnya, karena mereka mulai pergi ke tempat lain.
“Gimana kondisi, lo.. udah baikan?” Kata Zahra melepaskan pelukannya.
Aku Cuma mengangguk. Zahra memberikan sebotol air mineral. Dan aku menerimanya, meneguknya beberapa. Zahra tidak berkata apa-apa, kita Cuma diam. Ya, dia tentu sudah mengenalku. Aku yang lebih suka didiemin kaya’ gini daripada harus menceritakan masalahku ama dia.
“Gue udah tau ceritanya dari Papa, lo.. waktu gue jemput lo buat pergi beberapa minggu yang lalu. Wajar kalo’ lo trauma berat. Lo gak pernah cerita sih..”
Aku melihat teman-teman yang sekarang pindah tempat disana. Mereka sedang bermain kembang api, batangan. (bukan petasan).
“Papa yang cerita..” Aku tersenyum miris bila melihat wajah ramah Papa dan wahaj dingin Mama saat menatapku. “Maa, ya.. gue udah ngerusak acara ini..”
“Gue yang minta maaf.. gue sempet lupa ama kejadian itu, dan gue gak tau kalo’ lo punya trauma..”
Aku menghembuskan nafas. “Gak apa.. yok! Kesana.. ini kan pesta perayaan kemenangan kita..” Aku berusaha mengalihkan suasana aneh ini. Dan Zahra Cuma tersenyum kikuk. Tapi, ia mengikutiku.
Sabtu pagi. Aku duduk memeluk lutut, menatap hamparan rumah di teras depan.
Terkadang, rasa takut itu muncul. Rasa bersalah itu muncul. Walaupun..
“Kakak, ngapain? Pagi-pagi udah ngelamun ih..”
Aku melihat roda yang menumpuh sebuah kursi saat menoleh ke sumber suara. Ya, Acha. Adikku. Dengan kursi rodanya.
“Cari wangsit buat ulangan harian besok senen.. wee :p” Jawabku. Dia Cuma tertawa kecil.
Yah, walaupun Acha sama sekali tidak pernah menyalahkanku atas.. atas, hilangnya kedua kakinya. Walaupun dia harus bergantung pada kursi roda seumur hidupnya. Walaupun ia harus keluar dari sekolahnya dan memutuskan home schooling. Tapi, lihat wajahnya yang ceria dan lugu itu.
“Acha..” Panggil Mama ceria “Ayo, sarapan dulu..” Kata Mama sambil mulai mendorong masuk kursi roda Acha.
“Kakak, Ma?” Tanya Acha. Langkah Mama terhenti.
“Angel, kalau mau sarapan, udah disiapin di meja makan” Kata Mama tanpa membalikkan badannya dan jalan lagi.
Begitulah, sikapnya sejak kecelakaan—atau kebodohanku—empat tahun lalu. Mama sangat marah kepadaku karena aku dianggap sangat lalai, menjaga Acha. Tapi saat Acha mulai bangkit dan semangat (Dia sempat down selama 2 bulan penuh), dan berkata pada Mama bahwa kejadian itu bukan salahku, tetapi murni kecelakaan. Mama hanya bisa bersikap dingin padaku.
Acha menoleh, mengayunkan tangannya. Mengajakku masuk. Aku mengangguk dan sok mengusirnya cepat masuk, sedangkan Mama dengan ceria menawarkan Acha selai apa yang akan dioleskan ke roti untuk sarapan hari ini?.
“Hei, Angel..” Aku mengalihkan wajah dari buku, ke arah suara. Oh, dia.. dia Kiki.
 Laki-laki yang setahun lebih tua dari aku. Orang yang aku temui di rumah sakit empat tahun lalu. Orang baik—sebenarnya orang yang terlalu ikut campur—tapi nyatanya waktu itu aku menangus dan entah berceloteh apa saja didepannya. Waktu itu aku sedang kacau. Acha masuk UGD, dan Mama membentakku, saat Kembang Api meledak diluar sana. Ya, waktu itu tahun baru.
“He, Ki.. Acha ada les, ya?”
“Hehe, iya.. yaudah gue ngelesin Acha dulu, ya..”
Aku Cuma senyum dan kembali pada bukuku.
“Kiki itu baik banget ya? Dia yang bikin Acha semangat waktu dulu sempet down itu, kan?”
Dahiku berkerut “Kok kamu, tau?” Aku emang udah dua tahun temenan ama Zahra. Tapi aku tidak pernah bicara masalah apapun ke Zahra. Seingatku.
“Oh, hehe.. iyaitu gue tau dari Acha sendiri. Lo, mah.. gak pernah cerita beginian ke gue..” Katanya sambil tertawa kecil, matanya masih sibuk dengan layar laptop di depannya.
Bibirku terkatup. Entahlah.. rasanya aku terlalu tertutup sama Zahra. Padahal dia sudah kuanggap saudaraku sendiri, dan Zahra sudah sering curhat segala macam sama aku. Tapi aku emang suka membicarakan masalah keluarga pada siapapun.
“Eh, gue salah ngomong ya? Maaf.. maaf Ngell..” Kata Zahra menoleh ke aku sekarang. Merasa bersalah.
“Ha? Enggak kok.. gak ada yang salah..” Aku senyum.
Sampai-sampai ia melihat kejadiannya langsung. Atau bahkan harus tau kebenarannya dari orang lain.
Malamnya.
‘Tok-Tok-Tok’
“Siapa?”
“Aku, kak..”
Acha. Aku langsung membuka kunci kamarku. “Ada apa, sayang?” Aku dorong kursi rodanya kedalam kamarku.
“Kakak mau nemenin aku nggak ,besok malem?”
“Eh, eda apa emangnya?”
“Ke.. lapangan basket di komplek sebelah.. kita main kembang api! Ama Kak Kiki juga.. ya, ya?”
“K-kembang api..” Setahuku, Acha tau kalo’ sejak kejadian itu aku phobia ama Kembang Api. Sejak dia keheranan melihatku menutup telinga dan berlari pergi waktu lihat kembang api di TV beberapa tahun yang lalu.
“Iya, kakak gak usah takut.. ntar main yang batangan ajaa!!”
Kenapa? Kenapa dia tidak berubah? Tetap saja menyukai kembang api. Kenapa dia masih berbinar-binar dan bersemangat bila mendengar kata kembang api?
“Baiklah, tapi Mama tidak akan membiarkanmu pergi dengan kakak..” Kataku melengos. Ya, sejak itu mama sudah tidak mempercayaiku menjaga Acha. Wajar.
“Pasti boleehh.. emang kenapa coba, kan ada Kak Kiki juga.. Oke?”
“Yeelah..”
“Thanks, Kak Angell!!” Acha menepuk kedua telapak tangannya menjadi sebuah genggaman yang saling bertautan erat. Raut wajahnya senang. “Sebelumnya..” Lanjut Acha menggantung.
Aku menaikkan sebelah alis, menunggu.
“Sebelumnya, aku minta maaf ya, Kak..”
“Bentar aja lho, Cha.. kamu tadi gak pamit ama Mama,kan? Ntar kakak yang dimarahin..” Kataku sambil mendorong kursi roda yang diduduki Acha. Acha Cuma menyeringai.
“Hellah, aku kan udah izin Papa..” Jawabnya enteng. “Ha! Itu Kak Kiki!!” Serunya ceria. Ya, memang terlihat Kiki di bawah lsmpu jalan, sedang mengangkat kedua tangannya. Melambai.
Aku mempercepat langkahku.
“Hei, Ngel, Hey, Acha!” Sapa Kiki seperti biasa, dia selalu terlihat ramah.
Kami berjalan ke tengah lapangan, Kiki bilang dia bawa adik-adiknya. Ya, disana ada satu anak cowok yang mungkin seumuran dengan Acha, dan satu cewek yang juga sama, sebaya dengan Acha.
“Kenalin, ini Ozy ama Keke..” Kata Kiki.
Lalu permainan kembang api dimulai. Acha dan teman barunya langsung akrab dan sibuk bermain sendiri dengan kembang api batangan mereka. Acha terlohat senang sekali. Apalagi Keke selalu melontarkan celetukan lelucon, begitu juga dengan Ozy yang sok-sok’an menjadi seorang penyihir dengan kembang api sebagai tongkatnya. Dasar bocah..
“Ngel..”
“Hihi. Eh, ya?”
“Acha bilang.. kamu phobia sama kembang—api? Maaf sebelumnya..” Kata Kiki. Kita memang sedang duduk di tepi lapangan. Menjadi penonton wajah ceria ketiga bocah itu.
“Em, i-ya.. begitulah, kenapa? Kamu gak mau bilang mau nyalain kembang api, kan?”
Dia terlihat bingung. Menggaruk kepalanya yang aku rasa tidak gatal.
“Emm, begini, kamu gak mau sembuh dari phobia, mu?”
“I hope so..” Aku kembali melihat 3 bocah yang entah sudah menghabiskan berapa batang kembang api “Tapi aku rasa.. itu susah, karena itu bukan sekedar phobia, tapi trauma..”
“Ya, aku tahu.. tapi kita nggak tahu sebelum mencoba kan?”
Aku menoleh ke Kiki, menatapnya tajam.
“Nggak! Aku nggak mau! Jangan pake cara—“
“Berani tantangan?”
“Nggak!”
“Ngel, gak akan apa-apa.. kamu harus terbi—“
“Nggak, Ki! Atau kamu pengen aku ngajak Acha pulang sekarang kerumah!”
“Ngel!” Kiki berteriak. Aku nggak ngerti. Kenapa dia harus berteriak. Kenapa dia harus memaksa aku. Kenapa dia begitu keras kepala.
Acha, Keke dan Ozy menoleh ke arah kami. Hanya diam.
“Aku Cuma..” Kataku lirih, memandang kerikil kecil disampingku “takut, Ki..”
“Dan kamu nggak bisa terus menerus takut, dan tersiksa sendiri Cuma karena kembang api..” Kata Kiki. “Cobalah, mau kan, Angel?” Kiki mengulurkan tangannya.
‘DAR’
‘DAR’
‘DAR’
Ada dentuman keras disekelilingku atau diatasku aku tak peduli. Aku yang berdiri ditengah lapangan, sedang menutup kedua telingaku, memejamkan kedua mataku, berputar, melangkah entahlah, aku tak tau arah.
Aku takut. Karena saat aku mendengar suara ini seperti ada suara lainnya yang menyeruak masuk kedalam otakku.
Suara kereta api. Dentuman kembang api. Teriakan melengkin Acha. Suara orang-orang banyak. Bentakan emosional Mama. Suara menenangkan Papa. Zahra. Kiki. Suara orang menangis.
“Aaaa, kumohon matiin...”
Sekuat apapun aku berteriak, aku rasa tidak merubah apapun. Suara beruntun itu semakin beradu dan, tubuhku semakin gemetar. Aku merasakan butiran bening sudah mengalir di pipiku.
‘DAR’
‘deg’
Seseorang memelukku. Pelukan yang hangat ini. Sepertinya aku mengenalnya. Tapi, aku belum sanggup melihatnya aku masih gemetar. Aku peluk tubuhnya erat.
“Angel, semuanya sudah selesai.. tidak ada kembang api lagi, sayang... tenang..” Ia membelai rambutku. Suara itu. Suara Mama.
“Mama minta maaf, tidak seharusnya mama terus-terusan menuduh kamu..”
“Dan, Mama tidak tau kalau kamu memiliki trauma seperti ini..”
“M-m-maafin Angel, ma..” Aku lepas pelukanku. Masih gemetar. Ya, benar! Dia memang Mama. Bukan Mama bermata dingin yang sejak empat tahun menatapku itu. Ia mama yang dulu.
Aku lihat ditepi lapangan ada Papa yang merangkul Acha, tersenyu ke arahku. Ozy dan Keke ada disisi yang lain. Kiki berjalan ke arahku.
“Mau melihat suatu harapan?” Katanya lalu menyalakan kembang api batang yang ia bawa, lalu memberikannya padaku. Walu bingung aku tetap tersenyum. Dia memegang tanganku yang sedang menggenggam batang kembang api, menuntun tanganku membentuk sebuah lengkungan dari bawah ke atas langit malam, dan seolah tongkat sihir, dari arah tongkat muncul kembang api yang memecah indah. Walau aku masih sedikit takut, tapi begitu melihat tawa Ozy dan Keke yang sebenarnya menyalakan kembang api itu, dan senyum Acha yang berteriak senang bersama senyum Papa dan Mama disampingku.
Seperti sihir, sedikit demi sedikit aku mulai menikmati dentuman ini. Cahayanya begitu indah.
“Makasih ya, Ki..”
“Anytime, Angel..” Kata Kiki tersenyum.
-The End-
..............
Pembaca: *cengo’*
..............
Pembaca: *tidor*
Hwaaaaa.. aku nggak ngerti! Aku rasa ini cerpen paling aneh yang aku buat! Jadi tolong dongg!! Beri aku kritik dari kalian!! Butuh banget.. yayayaya?
Mudeng gak sih? Kok aku ngerasa deskripsinya belibet ya? –o-
Sebenernya ada yang belom dijelasin, kalo’ Acha nggak mati gara-gara waktu itu dia sempet lari tapi jatoh, jadi yang kelindes kakinya. Tapi gak tau mau ditaruh bagian mana, saya kasih tau disini aja ya -_-.
So, well.. makasih udah baca!! Dan saya tunggu komentar kalian..
Daaa..
nb: Maap kali ada yang salah-salah ketik -____-
-GentaRP-

5 komentar:

  1. : )
    heran yh, stiap bca crita ni bocah slalu ja q cma bsa snyum .

    -diem sesaat-

    QREEN ! sbnenrny, mav yh ta kmu buru" yh ngerjainny ? atw mood kamu tiba" gtu wktu buatny ? dsni brasa bnget klo si pnulis lgi kbawa suasana dan lgi mendadak kpikiran ssuatu n brusaha ngalihin atau ngerubah smuany jdi tulisan ^_^

    hhi, sotoy yh ta ? ehm" lanjutkan karyany !!

    BalasHapus
  2. banyak salah ketik tu cah.. :))

    tumben gada rio disini, hehe. kenap dipilihnya angel kiki? biar beda kah?

    gw mau ngasih tantangan nih,
    bikin cerpen tanpa nama anak icil.

    bisa dong? :D

    BalasHapus
  3. Katira : Setelah pembahasan via sms saya mengerti.. makasih Katiraaa!!! :D

    Kak Acie: Setelah pembahasan via twitter. tunggu tanggal mainnya!! XD

    Makasih Kakak-kakakkuu!!! :D

    BalasHapus
  4. Tataaaaaaa !!!

    Abis baca ni cerpen,, cm bs senyum" sendiri, padahal,ntu cerita sedih kan ? Aneh !!
    Apapun yg kmu tulis,pasti buat Q seyum... : ))

    Keren Ta,lg" buat cerita simple,tp,'berisi'
    I like it !!!

    Y,Q setuju ma Teteh,sekali" buat cerpen,tanpa nama Icil,,nama Acbr aja, hihiihih. lucu jg tuh !!!

    BalasHapus
  5. Kak Emmy: Emm, sebenrnya ini cerita gak sedih-sedih amat kok.. kan terakhirnya happy ending.. tapi ya, emang harusnya gak senyum (?)ribet.
    Soal tokoh bukan anak Icil.. tungguin aja yaahh.. :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...