Kamis, 09 Juni 2011

Dreams (The Old Friend) [cerpen]

Langit sedang menyajikan lukisan alam dengan semburat jingga khasNya. Memayungi dua anak-anak berumur sekitar enam tahunan yang baru saja menuntaskan aktifitasnya, entah apa. Yang jelas sekarang bocah laki-laki berambut panjang-untuk ukuran laki-laki itu sedang merengut dan memeluk skateboardnya kuat-kuat, sedangkan gadis kecil seusia dengannya tidak berhenti berceloteh sambil sesekali memukul anak laki-laki itu dengan dahan-ranting pohon yang dia temukan tidak sengaja tadi, bila ia mendapati lawan bicaranya ini tidak menanggapinya.

"Kamu sih Ray, tadi pake nyolot sama mas-masnya. coba kalau kamu tadi nggak teriak pasti kita nggak bakal ketahuan, coba kamu tadi nggak usah sok-sokan nantangin mereka main skateboard tuuuh akhirnya jatoh kaaan.. kalau nggak bisa itu nggak usah belagu, Raay.."

"Bawel lah, Cha. mau gimana lagi, abisnya Kak Rio Kak Alvin sama Kak Iel tadi hebat banget bisa lompat kayak gitu.. spontan, Chaaa..."

"Okedeh ya soal teriaknya aku ngerti, nantanginnya itu lhoo.. haduuh!" Acha menepuk keningnya keras lantas menggeleng-geleng.

"Bawel, ah! lagian daripada ngomel, mukul punggung aku kerepmu dhewe ambek iku mending obatin nih.. niihh.. luka aku. kamu kan cewek!" Cibir Ray sembari menunjukkan siku dan lututnya yang memang luka cukup besar.

Acha menelan ludah saat melihat luka Ray lamat-lamat lalu bergidik sendiri, "Hiii.. itu nggak sakit apa Ray? hiii.. jorok ah kamu.." Acha memukul-mukul dahannya ke aspal.

Ray mencibir lagi, "Yee, katanya ngaku cewek.. ngobatin gini aja nggak bisa huu"

"Aku kan tomboy, Raay.." Sahut Acha protes.

"Naah, katanya cewek tomboy tapi lihat luka gini aja udah jijik setengah mati kayak liat orang muntah di mangkok bakso. kalo gini mah, kamu mainnya sama anak macem Ify tuuh, main Barbie!"

Acha mengerucutkan bibirnya, "Aku nggak mau main Barbie sama Ify!" katanya yakin sambil mengamati matahari didepan mereka yang sebentar lagi pulang ke peraduannya,"aku kan maunya main sama kamu.."

"Eh?" Ray menoleh memandang gadis kecil yang lebih pendek darinya ini bingung.

Dia tahu. Acha adalah gadis kecil paling ajaib di komplek ini. Satu-satunya cewek yang lebih suka bermain diluar dengan kawan-kawannya seperti Ozy,Deva daripada bermain Barbie bersama gadis kecil lain seperti Ify,Keke dan Sivia. Tapi dia belum pernah mendengar Acha bilang hanya ingin bermain dengannya.

"Kenapa? Nggak boleh?" Tanya Acha galak. Ray tertawa ,lalu beralih menenteng skateboardnya saja.

"Nggak apa-apa laah.." Ray tersenyum.

Acha menghela nafas "Lagian aku bingung. emangnya salah kalau aku lebih suka hujan-hujanan sambil main becek sama kamu daripada main masak-masakan didalem rumah kalau lagi hujan, lebih suka nonton Naruto sama Ben 10 daripada Barbie?" Oceh Acha, "aku tuh kesel sama Ify. dia suka ngejek aku aneh laah, cewek jadi-jadian lah, jorok, kotor, eerggh. lagian apa asiknya sih nyisir-nyisir rambut Barbie yang uban semua gitu?"

Ray tertawa lagi, "Pirang kali, Chaa bukan uban"

"Yaah itulah, apapun itu. pirang-pirang dino gak keramas"

"Hahahahaa.. Achaa-Achaa. Tenang, yang penting kita bisa main sama-sama. kita kan teman.." Hibur Ray.

"Kau benar!" Seru Acha.

"Raissaaaa sayaaangg.. ya ampuun darimana aja sih sampe gelap ginii??"

Ibu Acha berteriak dari rumahnya. Acha membelalak lalu membuang dahan temuannya begitu saja. Ray menahan tawa karena ia tahu Ibu Acha agak menentang pribadi Acha yaaang, tomboy-menurutnya.

"Aaa, mati koon.." Seru Acha pelan "Eee, aku duluan deh. dadaaaah Raaayy. besok main lagi yaaa?!" Acha berteriak dan mulai berlari.

"Iyaaaa.." Balasnya melambai sebelum akhirnya berbelok ke kanan menuju blok rumahnya.

 ***

"Lho, Ray. kok nggak belok kiri? Lho lhoo Raaayy!!"

"Nggak, Chaa. aku nggak bakal kesana lagi. ate dideleh endi mukaku kalau ketahuan lagi ngintipin mereka latihan.."

"Yaah, trus gimana? Kenapa sekarang nggak coba minta ajarin mas-masnya aja?"

"Haaa? nggak laah, waktu itu kan aku  sok nantangin mereka, jatoh didepan mereka pula. nggak bakaaal walaupun mas-masnya baik sekalipunn.."

"Yeee, lagiaaan.." cibir Acha, "trus sekarang mau kemana?" lanjutnya bertanya sembari menyejajarkan langkahnya dengan Ray.

"Akuu.. nemu tempat yang menarik! tersembunyi! deket lapangan basket do Blok G itu lhoo.."

"Emm?. aku nggak pernah kesana.."

"Laah katanya sering main di luar rumah, tapi nggak pernah kesanaa.."

"Emang kamu sering ke sana Ray?"

"Eee, baru dua kali sih beberapa hari yang lalu sama mas Riko. hahaha.." Seringainya, membuat Acha menepuk keningnya heran.

Mereka sudah tiba di sebuah lapangan basket. sepi siang ini. Ada satu pohon rindang yang besaaar sekali. Ray berseru senang sembari munenjuk keatas pohon. Saat Acha mendongak ia mendapati rumah pohon diatas sana.

"Waah! Ayo kita manjat, Ray! aku mau ke sanaa.." Acha sudah bersiap-siap memanjat balok-balok kayu yang menempel di batang pohon itu.

"Heeei.. Acha tunggu dulu. iya tahu kamu emang jago urusan manjat tapi jangan asal nyelonong doong.. pelan-pelaan.." Peringatan Ray.

"Ah, kamu udah kayak Ibu aja. tenaang kayunya kuat kook!"

Ray berdecak pasrah lalu mengikuti jejak Acha memanjati balok-balok kayu itu.

Rumah pohon tidak begitu luas. Tapi cukup nyaman untuk anak-anak seukuran Ray dan Acha. Setelah puas berdecak kagum melihat pemandangan komplek dari atas rumah pohon ini mereka berdua duduk di ambang pintu rumah pohon bersama angin sejuk  yang beradu dengan panasnya matahari.

"Trus ngomong-ngomong tumben akhir-akhir ini gak nenteng skateboard kamu itu? kemana tuh? rusak?" Tanya Acha.

"Nggak. Ada kok, aku taruh di rumah aja.."

"Lah, nggak mau latihan? Belajar disini aja yok kan sepi, enak deh kayaknya. yuk balik ke rumah kamu ambil skate yuk!" Ajak Acha bersemangat.

"Nggak, ah.. aku udah nggak mau main skate lagi.."

"Eeeh? kenapa? katanya cita-cita kamu pengen jadi pemain skateboard terhebat di duniaa melebihi mas-mas di komplek D itu. bahkan katanya mau ngalahin.... Tomiii.. siapa? yang orang barat itu, Ray?"

"Toni Hawk!"

"Yeah! itu lah. apapun itu, laah sekarang kook.. masaa' cuma gara-gara jatoh udah putus asa sih.."

"Hhh, bukan gituu.. kemarin Mas Rio dibeliin Drum sama Ayah, trus waktu aku nyoba kayaknya seru mukul-mukul gitu.. Mas Riko udah jamji mau ajarin akuu jugaaa.. lagian kalo main drum kan resiko jatohnya kecil banget. eeh kapan-kapan kamu harus lihat drum di rumahku, Chaa. gedeee banget!"

"Hng?"

"Haa? kamu kenapa, Cha? kok gitu reaksinya? cegek caak.."

"Nggak apa sih. emang kalo jadi pemain drum nggak bakal kena luka lecet ya?"

"Haaaa?? emm. aku rasa nggak.. kan kalo main drum duduk, palingan kalo tangannya kepukul stik atau kena kuning-kuningnya itu apa namanyaa.. sim-sim apa gitu." Pikir Ray.

"Yaaah, percuma doong.."

"Percuma? Maksudnya? kamu seneng ya kalo aku luka-luka kayak kemaren? ini aja belom sembuh.."

Acha merengut. Bukan begitu maksudnya. Sebenarnya sejak ia melihat luka Ray beberapa hari kemarin, begitu pulang ia bertanya pada ibunya. Apakah menjadi seorang suster itu berarti membantu orang yang luka-luka? lalu apakah boleh ia bercita-cita menjadi seorang suster?. Tentu saja Ibu Acha menanggapi positif. Gadisnya yang tomboy ini mau jadi suster. keajaiban, eh?.

Toh sebenarnya tujuan utamany menjadi suster adalah agar bisa mengobati luka-luka Ray. Jadi dia bisa semakin dekat dengan Ray. Tapii, yaah mau bagaikmana lagi. Bukankah kata ibunya seorang suster itu adalah pekerjaan yang amat mulia?--walau Acha sendiri masih ragu dengan arti mulia tapi kedengarannya hebat,pikir Acha.

"Cha!"

"Ha!" Teriak Acha kaget.

"Malah ngelamun, kamu kenapa sih?"

"Nggak, anu. Aku sekarang sudah punya cita-cita, hehehe.."

"Waah? beneran? Apa, Cha cita-cita kamu?"

"Aku.. pengen jadi suster, Ray. Suster hebat yang bisa menolong orang banyaaakk banget. Yang kayak di TV-TV, Ray.. keren kan?"

"Ha? Acha? Jadi suster? Hahahahahaha.. kesurupan apa kamu.. orang lihat borok aja jijik.. gimana mau ngobatin? hahaha..."

"Ya makanyaa dilatih biar terbiasaa.. pokoknya kalau udah gedhe harus jadi suster. ya! harus jadi suster!" Teriak Acha.

"Hmm, ya ya.. semoga tercapai ntar aku jadi dokternya deeh.." Sahut Ray setengah bercanda, karena sebenarnya ia masih belum yakin dengan cita-cita Acha.

"Yeee, malah gitu sih, gak serius ah, Ray.." Acha mendorong pundak Ray kesal, "Oh iyaa.. ada satu lagi lhoo cita-cita aku.."

"Oh ya? apa lagi?"

"Emmm, kamu jadi pacar aku!"

"Haaaah?? paa.. car?"

"Iya! Hahaha, tapi nggak sekarang deh Ray ntar aja kalo udah gedhe kamu harus jadi pacar aku, oke?"

"Aaah, kenapa harus jadi pacar sih? kamu mulai suka nonton Barbie ya?"

"Hee, kata siapa deh? nggak lah apaan Barbie hiii. emang kenapa kalo jadi pacar?"

"Punya pacar itu ribet tauu, lihat aja Mas Riko yang harus nabung buat beli ini lah, itu lah buat ceweknya.. yang setiap malem harus nyempet-nyempetin nelpon ceweknya laah.. apa lah.. ribet banget tauu nggak seru!

"Yaaah..." Acha sedikit kecewa, "yaudah deh jadi temn aja! Tapi aku masih berharap kalau udah gedhe udah jadi suster aku bisa pacaran trus nikah sama kamu. Keren deh Ray, Pemain drum hebat dan Suster Hebat!"

"Hahahaha, terserahlah, asala jangan sama suster ngesot aja!"

"Raaay.. suster hebaaat bukan ngesoott.."

Ya,ya,ya. Bermimpilah. Bermimpilah sesuka hatimu. Selama bermimpi itu tak berbatas. Selama mimpi itu tidak memerlukan biaya. Dan selama masih ada waktu yang tersisa, Gantunglah semua itu setinggi mungkin, lalu raihlah.

***

Ray menguap saat Riko membangunkannya. Dalam keadaan masih setengah sadar ia tidak bisa mencerna dengan baik apa yang diomelkan kakak sulungnya itu. Yang ia tangkap hanya nama 'Acha' dan kata-kata 'cepetan keluar'.

Dengan muka bantal Ray mengucek-ngucek matanya. Ah, pasti Acha mau ngajakin tanding sepak bola sama anak komplek sebelah. Itu sudah menjadi rutinitas mereka bersama setiap hari minggu. Tapi kan tidak perlu sepagi ini.

"Masih ntar jam sembilan, Chaa tandingnya ngapain pagi-pa-"

Ray membelalak. Mulutnya ternganga. Yang ia lihat di ambang pintu rumahnya adalah Acha yang sudah berpakaian rapi. terlalu rapi. Kaos yang dilapisi jaket dengan jeans panjang lengkap dengan sepatu dan ransel sekolahnya. Dan. Menangis. Hei Acha menangis, mukanya merah sekali karena menangis.

"Lho, A-Acha kenapa nangis? hei, kamu mau kemana? kamu nggak mau main bola dengan baju kayak gitu kan?" Tanya Ray panik. Acha menghapus air matanya dan terlihat susah payah sekali berbicara.

"A-aku, mau ke Jakarta. A-a-ayah pindah kerja d-dida-naaa.." Lalu dia menangis lagi. Ray seolah tidak percaya, ia langsung melihat keluar sana lewat jendela. diluar sana ada Ibunya dan Ibu Acha yang sedang mengobrol, lalu kedua wanita itu beralih menoleh ke arah Ray. tersenyum dengan maksud yang tidak dimengerti oleh Ray.

"Hai, Ray. Terima kasih ya.. sudah sering mengajak Raissa main.." Ibu Acha menghampiri anaknya lalu menepuk puncak kepala Ray perlahan "Raissa sedih sekali katanya tidak bisa bermain dengan Ray lagi.." Ibu Acha tersenyum, tapi Ray benar-benar tidak mengerti kenapa beliau harus tersenyum sedangkan Acha menangis sampai seperti itu. Tangan Ray mengepal, bahunya bergetar.

"Gimana, udah dulu ya, sayang? yuk kita berangkat sekarang.." Ajak Ibu Acha ke anaknya lalu beranjak pamit ke Ibu Ray. Ray tidak bisa berkata apa-apa. Ia cuma bisa memandangi Acha yang terlihat berusaha sekali menghentikan tangisnya dengan tarikan nafas yang sesak itu.

Lalu terjadilah perpisahan itu. Acha digandeng ibunya keluar, dan Ray tetap tidak berkutik. Acha menoleh sekali lagi dan berucap, "Raaay..." dengan suara serak. Dan sekarang, gadis kecil itu sudah menghilang dibalik pagar.

Ray merasakan kepalanya ditepuk-tepuk seseorang. Riko. Tersenyum masam, berbanding terbalik dengan Ray yang mulai menangis. Ia tahu Acha bukan lah satu-satunya teman bermainnya, tapi baginya hanya Acha lah teman yang paling mengerti dia yang mau menemaninya kemana saja. Dan ia.. kehilangan itu sekarang.

***

Ray mengerutkan dahi dibalik helmnya saat menyadari ada mobil asing di depan rumahnya. Saat sepeda motornya telah memasuki garasi rumahnya baru lah ia mengerti bahwa ada tamu di rumahnya. Dengan acuh ia melepas helmnya dan ingin masuk ke dalam rumah lewat pintu garasi saja agar tidak mengganggu.

"Raaay!" Ibu Ray memanggil spontan Ray memundurkan setengah tubuhnya yang sudah memasuki garasi.

"Dalem, Bu?"

"Sini masuk lewat sini ajaa.. kasih salam sama tetangga lama.."

Tetangga lama?, gumamnya lalu mengangkat bahu dan mulai masuk. Di dalam ia melihat sepasang suami-istri yang seusia dengan orang tuanya. Ray mengangguk dan tersenyum sopan lalu menjabat tangan mereka.

"Ray? Kamu sudah besar ya sekarang.. ganteng lho.." Takjub si Ibu. Ray hanya tersenyum garing. Ia memang merasa wajah ibu ini tidak asing, tapi ia benar-benar tidak ingat pasangan itu tetangganya yang mana.

"Oh iya, anak kamu itu namanya siapa, Bu?"

"Oh, Raissa.."

"Iya, Raissa, Raissa kemana ya tadi?"

"Nggak tahu juga katanya mau muter-muter di sekitar sini, kangen katanya.."

"Samperin Ray.. kamu kan dulu sering main sama Raissa.."

"Hn? Raissa?" Guman Ray, seingatnya ia tidak pernah punya teman bernama 'Raissa'. Ray cuma mengangguk-angguk saja tidak terlalu berniat mengingat-ingat siapa itu Raissa-Raissa yang disebut ibunya tadi. Palingan juga teman-teman main Ify, Keke atau Sivia.

Tapi bukannya Ibunya tadi bilang, sering bermain bersamanya?.

"Surabaya sekarang berubah ya, Bu..".

Ray berdiri dengan mati gaya disana sedangkan bapak-bapak dan ibu-ibu itu sudah kembali larut dengan topik masing-masing. Merasa tidak diperlukan lagi Ray memutuskan keluar saja. Mungkin saja ia bisa bertemu dengan Raissa dan bisa kembali mengingatnya.

Matahari hampir terbenam, membuat aspal tidak segelap aslinya akibat pantulan sinar  matahari. Ray meregangkan tubuhnya lelah setelah pulang latihan bersama grup bandnya. Ia lalu mematahkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Berhenti disitu. Di sebelah kiri.

Ia mendapati seorang gadis cantik berambut ikal yang sedang memandanginya dengan mulut ternganga.

"Ray?" Panggilnya masih ragu.

Suara itu. Mengingatkannya pada kisah lama. Entah bagaimana caranya, lalu dipandangan Ray tubuh gadis itu bisa menyusut setinggi anak berumur enam tahun dengan kaos kotor, jeans sobek-sobek selutut dan tawa riangnya. Lalu mendadak gadis kecil itu kembali menjadi gadis cantik berpakaian dress berwarna peach selutut dengan sepatu sneakers pitih melapisi kakinya.

"Kamu bener Ray, kan?"

"Iya. kamuu.. Raissa?"

Ia mengangguk lalu tersenyum amat senang nyaris menangis bahagia dan berlari berangsur memeluk Ray, mengabaikan keterpanaan Ray yang sebenernya masih belum ingat sepenuhnya tentang gadis ini. Tapi lalu ia mendapatkan sesuatu, saat gadis ini sudah berada dalam pelukannya.

"Lama sekalii kita tak bertemuu.. kamu kok nggak tinggi-tinggi sih Raaay.. masa' daridulu tingginya seaku mulu. Itu rambut juga tahan banget gondrong, potong dong Ray biar rapi, hahaha.. aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi setelah.. delapan, sembilang, sepuluh... sebelas tahun! ya ampuun.." Raissa melepas pelukannya.

"Sebelumnya maaf ya, Raissa.. aku, nggak begitu ingat sama kamu"

'deg'

Senyum Raissa-atau Acha memudar. Pandangannya kembali melebar, merasa malu. Malu karena ia baru saja memeluk orang yang ternyata tidak mengingatnya. Ia juga kecewa, kecewa karena bahkan dirinya belum lupa apa pun tentang kenangannya bersama Ray. Haha, iya ya.. siapa juga yang mau mengingat orang yang tiba-tiba pergi begitu saja.

"Kamu.. lupa sama aku?" Tanya Acha lirih.

Ray mengangkat sebelah alisnya, "Ya, aku tidak bisa mengingat dengan jelas masa kecilku hehe. memangnya duku kita teman apa?"

Teman apa?. Hahaha, teman apa?. Acha berusaha tersenyum hampir tertawa sebenarnya tapi ia tahan itu. takut tawa itu terdengar kering. "A-aku Acha Ray. Temen TK samapi SD kamu.. yaah samapai kelas satu aja sih.." Acha menarik nafas mencoba mengumpulkan kekuatan, "dulu kita sering ngintipin mas Rio mas Alvin, mas Iel main skateboard... karena kamu dulu hoby main skate. dulu setiap minggu kita suka tanding bola sama komplek sebelah.. dulu kita suka hujan-" Acha menghentikkan monolognya.

"Sudahlah hahaha.. nggak perlu diinget lagi kayaknya kamu bener-bener lupa. iyalah sebelas tahun lhoo.. haha" Tawa Acha, ia mengusap matanya yang basah. buat apa menangis di depan orang yang melupakannya. ia menunduk malu. mendadak suasana terasa amat canggung.

"Bercanda"

Acha tertawa masih memandang tanah yang ia pijak.

"Hahhaha.. gimana bisa aku lupa sama kamu"

Acha mendongak dan sudah mendapatjan pelukan Ray. Acha tidak mengerti harus tertawa atau bagaimana, ia melepas pelukan Ray pelan, "Kamu bohong kan? kamu pasti udah lupa sama aku. nggak apa lagi nggak usah terpaksa bohong gini.."

"Bodoh. Aku cuma kaget.." Kata Ray "Acha yang dulu aku kenal kan pendek segini. kulitnya lebih item karena kebanyakan main bola hahaha. bajunya juga kaos oblong sama jeans selutut kemerdekaan kamu plus sandal gambar naruto kesayangan.. bukan yang pake dress gini, hahahaha..."

Acha menganga tidak percaya ia senang ternyata Ray masih mengingatnya tapi, "Ooh. jadi maksud kamu aku udah berubah gitu? Enak ajaa.. aku masih Acha yang dulu tauu. buktinya aku tetep gak suka sama barbie!" Galak Acha.

Lalu keduanya tertawa.

"Nggak nyangka kita bakal ketemu lagi.." Kata Ray saat mereka sudah duduk di bangku bambu depan rumah Ray.

"Aku yang minta liburan ke sini.. selama ini Ayah nggak izinin, ibu kan juga buka usaha di jakarta jadi nggak bisa ditinggalin.. tapi kali ini aku yang maksa, hehe. abisnya mau cari kamu di facebook pun.. aku lupa nama lengkap kamu, hahahha.."

"Sialan, haha. aku malah lupa sama sekali kalau nama kamu itu Raissa, hahaha.."

Lalu keduanya saling menanyakan mimpi masa kecil mereka dulu waktu masih kecil. Ray bercerita bahwa dirinya sudah memiliki grup bandnya sendiri dan sering manggung didalam kota. ia pribadi dilatih oleh mantan drummer dari grup band fenomenal asal Surabaya.

Acha? Acha sendiri benar-benar berusaha mewujudkan impiannya menjadi seorang suster hebat. dia sudah di terima di fakultas keperawatan dan mengaku nggak takut lagi sama luka separah apa pun, dia sudah mahir mengatasinya karena bimbingan PMR selama SMP dan SMA.

Ray dan Acha menghela nafas panjang. sama berpikir untuk topik pembicaraan selanjutnya. tapi.. entahlah tiba-tiba saja Ray tersenyum lalu bertanya dengan ragu ke Acha.

"Ngomong-ngomong kamu udah punya.... cowok belom, Cha?"

"Haa? hahahaha, belom. kamu sendiri?"

"Belom juga, hahaha jiaah jomblo ngenes dong ya.." Tawa Ray, disambut gelak Acha juga, "Oh ya, emangnya kamu masih pengen jadi pacar aku nggak sih, Cha?"

Acha tersedak air ludahnya sendiri. Terbatuk-batuk hingga Ray menahan tawa.

"Itu kaaan dulu aku masih kecil, Ray.. nggak ngerti apa-apa.. kenapa yang itu kau ingat juga siih.."

"lho, hahahaha.. memangnya kalau kita beneran pacaran kamu nggak mau ya?"

Acha membelalak. antara kaget dan tidak percaya. entahlah pipinya mendadak menghangat. ya, dia tersipu. untung saja lngit merah ini mampu mengkamuflase pipinya yang sekarang merona. semerah senja, ia menunduk salah tingkah, dan Ray pun mendadak merasa kikuk.

Biarlah mereka berdua yang menjawab masalah ini.

Nyanyian burung di sore hari turut menemani dua muda-mudi yang akhirnya bertemu setelah sekian lama. Sama-sama masih menggenggam kenangan mereka bersama. Sama-sama sedang berlari mengejar mimpi yang pernah mereka lontarkan bersama.

Karena ada seseorang yang bilang...

"Ya, bermimpilah. Tapi setelah bangun jangan tidur dan bermimpi lagi. bangun dan kejarlah mimpimu.."- Anggun C Sasmi.

-end-

eyaaakk!! aahh!! ini cerpen gagaaaall.. ga nyambung blass _0_ aneh, garing, kaku, belibet segala macem.
maaf udah lama nggak bikin cerpeenn... :((

cerpen ini saya persembahkan untuk Kak acie dan Tata (bukan Tata saya yaaa..). maaf kalau diluar ekspektasi :(

buat kalian yang nggak sengaja baca, terima kasih atas waktunya, mohon tinggalkan kritik dan saran kalian di kolom komentar, terima kasih. ^^

-GentaRP-

3 komentar:

  1. bocaaaaaahhh!! makasih ya.. ye ye ye, akhirnya baca cerpen ttg Ray lagi.

    i like the idea of mereka yg tinggal di surabaya, trs pake bahasa jawa. plus jadinya manggil semua mas-mas.. aaa, aku suka!!!

    ditunggu cerita2 berikutnya ya, jangan lupa paesenan aku ttg mas2 itu ;)

    BalasHapus
  2. Hehehe, sama-sama kaak, aku juga makasih :D itu sebenernya mau dibikin basa jawa semua lho, tapi takut yang baca pada roaming semua XP

    Cerita selanjutnyaaa insya allah ya, doakan saja ._.v

    BalasHapus
  3. " Bermimpilah, Maka Tuhan akan memeluk mimpi" itu "
    Andrea Hirata ..

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...