Rabu, 22 Juni 2011

Ya, Aku Terima [cerpen]

Ya, Aku Terima [cerpen]

Hai sebelumnya aku mau bilang, kalo sebenernya cerpen ini bisa dibilang adalah lanjutan dari cerpen aku yang "Lalu, Aku Mengerti" ehhehehee.. .___. Jadi harap maklum kalau yang ini pun nggak kalah gejenya sama yang itu. XP.

***
“—Jadi gitu, Raa.. aku bingung buanget nget nget! Untung aku nyimpen nomer kamu, kalau nggak aku nggak tahu harus cerita ke siapa, rasanya otakku bakal meledak!!”
Alay, ha-ha-ha.
“Jadi gimana dong??”
Aku meletakkan pensilku, menghentikkan kegiatan menghitung sejumlah angka rumit dari paket berjudul ‘MATEMATIKA Untuk SMA’ dilengkapi huruf ‘XI’ besar di pojok kanan bawahnya. Handphoneku yang sengaja aku atur dalam mode loudspeaker aku dekatkan ke mulutku.
“Hmm, naksir udah dari kelas sembilan, niat mau ngelupain eeh malah ketemu di SMA. Parahnya kamu malah makin tenggelam akan pesonanya jauh lebih dalam lagi—“
“Tunggu. Pesona?? Kok kayaknya nggak banget gitu sih?”
“Laah, kan kamu sendiri tadi yang ngomong kayak gitu, Cha..”
“Iya siih. Iyaa! Iyaa! Haduuh aku heran banget deh, Raaa.. pengen rasanya aku teriak didepan muka dia—“
“Kamu kan sudah cukup lama nunggu. Aku rasa nggak ada salahnya kalau kamu ambil langkah duluan. Kamu SMP dulu temen baik? Atau temen deket gitu?”
“Eeh.. e-em.. lu-lumayan.. err ya, setidaknya mungkin dia masih ingat namaku..”
“Ya sudah, nggak pa-pa. SMA ini kamu jauhin dia kan? Coba aja kamu deketin dia, tapi deketin yang wajar lho yaa.. maksudnya cari kesempatan buat ngobrol-ngobrol sama dia gitu.. kan nggak harus jadi pacar langsung, semuanya bisa diawali dengan pertemanan. Yaa, setidaknya biar kamu bisa mengenal gimana sih, Reinald yang sebenarnya.. biar adil juga.. selama ini kan kamu yang ‘melihat’ dia.. sekarang coba tunjukin diri kamu biar dia juga bisa ‘melihat’ kamu lebih deket..”
‘tuk’
Eh? Aku barusan nyerocos nggak jelas ya? Aku baru sadar lho kalau aku tadi ngomong sambil menerawang. Tuk tuk tuk, aku memukuli dahiku sendiri dengan telunjuk.
Hening. Yang aku dengar Cuma suara hembusan nafas Icha yang semakin berat, “ngomong doang itu gampang, Ra. Ngelakuinnya? Susah!!”
‘BUG!’
Kena lo, Ra!.
Aku menggaruk pelipisku canggung, cengengesan sendiri lalu bersiap-siap mencoba membesarkan hati Icha, “Usaha dong.. dicoba.. semakin banyak kamu mencoba semakin besar hasil yang kamu harapin kamu dapat”
‘PROK-PROK-PROK’ ‘BUAAGG!’
Hiyaa! Aku nggak ngerti, tapi mendadak imajinasiku menciptakan dua makhluk aneh disekitar kepalaku. Ada Si Putih yang bertepuk tangan heboh dan ada Si Hitam yang sedang memukuli kepalaku sekuat tenaga. Dari mana mereka datangnyaa??. Aku menggeleng-geleng mencoba mengenyahkan mereka.
“Gitu ya, Ra?”
“Ha? I-iyaa.. yakin deh! Kamu pasti bisa. kalaupun emang gagal pasti kamu nggak akan sengenes sekarang yang Cuma menatap dia dari jauh, karena seenggaknya kamu sudah mencoba, setidaknya dia menganggapmu teman dan setidaknya lagi dia bisa melihat kamu. Nggak rugi-rugi amat kok. Pasti ntar ada sesuatu yang kamu dapetin entah itu sisi lain Reinald yang ternyata baru kamu tahu.. sisi jeleknya dia apapun itu. Iya kan?” Kataku pelan-pelan, mencoba meyakinkan “mumpung dia belom punya cewek lho, Cha” Lanjutku memanas-manasi.
“Wuaah kamu bener, Ra! Iya sih kalau dipikir-pikir emang bener. Iya! Bener! Bener! Aaa nggak tahu deh ya, tapi rasanya aku bisa dapetin dia. Iya! Aaa, gila! Seneng banget..” Aku ketawa cengo’ “Aaa, thanks Taraaa.. aah I love you! Love you!
Aku mengerjap kaget, reflek kujauhkan handphone dari mulutku. Lalu tersenyum. Geli sendiri, “Haha, iya sama-sama.. love you too.. good luck, ya!”
“Iyaa.. yaudah kalau begitu.. aku mau beres-beres buku dulu deh! Dadaaah Taraa”
“Daaah, Cha”
Aku mengangkat bahu. Memaklumi. Setelah memutuskan telepon aku lempar Handphoneku yang sekarang telah mendarat dengan tidak terlalu mulus diatas kasur. Masalah Icha sementaraaa.. kelar! Tinggal si matematika niih, heuu. Aku sambar lagi pensilku dan mengajaknya berkolaborasi lagi dengan otakku.
“Whoaah.. Tara hebat euy! Bisa bikin si Icha semangat lagi lho!”
Hng?. Aku lirik bahu kananku. Ada makhluk berwarna putih yang baru saja bersuara dan sedang tersenyum sekarang.
“Ah, munafik lah dia. Sama Icha aja dia bisa bilang begitu, tapi dia nggak nerapin ke kehidupan dia sendiri.. padahal kan storynya hampir sama tuh..”
Aku menoleh cepat ke bahu kiriku, ada Si Hitam yang baru saja menyahut dengan tampang mengejek. Sekarang Si Putih tidak mau kalah, dia berargumen dengan maksud membelaku tapi Si Hitam juga tidak mau mengalah dia malah makin menjadi-jadi menyindir dan mengejekku. Semua ucapan itu seolah menamparku habis-habisan.
Akhirnya dua makhluk yang nggak jelas asal-usulnya itu malah bertengkar sendiri diatas masing-masing bahuku. Aku mulai pusing. Geram sendiri.
“Haaaah! Berisik! Bodo lah, aku belum ngerjain PR Mat tauuuk, bisa diem gak?!”
‘tik’ ‘tik’ ‘tik’
Aku bisa mendengar bunyi detik jam dinding kamarku. Aku bisa merasakan nafasku tersengal-sengal. Dan saat aku lihat lagi sudah tidak ada makhluk aneh di bahu kanan-kiriku.
Lalu. Saya. Bengong.
Halusinasi!! Hahaha, mana ada makhluk pengadu domba seperti itu hahaha. Saya melupakannya! Saya tidak akan mengingatnya. Yang saya tahu saya harus segera menyelesaikan PR Matematikan ini.



***
‘KRING KRING KRING’
Horee! Akhirnya istirahat. Semua anak-anak rata-rata langsung tersenyum manis saat melepas kepergian Bu Yessi keluar kelas, padahal kalau beliau sedang menerangkan? Boro-boro senyum manis, merhatiin saja nggak. Ha-ha. Dasar. Aku membereskan buku-bukuku dan mendorongnya begitu saja ke dalam kolong meja, karena seperti biasa aku sudah tidak sabar ingin membeli gorengan di kantin. Saya lapar sekali.
“Ayo, Sar!” Aku menjawil pelan pundak Sarah teman sebangkuku yang masih mengecheck handphonenya. Dia menoleh sekilas dan mengangguk. Aku keluar dari bangkuku-
“Eh-eh. Maaf-maaf..” Heaa aku menabrak orang. Siapakah korban yang baru saja saya ta- Aaaa!!.
Sorry-sorry, Dit hehehe..”
“Nggak apa-apa, haha” Lalu dia berlalu begitu saja. Menghampiri kawan-kawannya yang lain dan keluar kelas entah kemana. Aku menghela nafas. Berat. Tidak ada perubahan memang. Sama saja. Dia tetaplah Radit yang-
“Yok, Ra!” Sarah menarik tanganku, membuatku sedikit berlari.
Ya. Radit tetaplah Radit yang ramah, yang menganggap semua orang-orang disekolah ini teman-temannya. Yang akan tetap berjalan maju tanpa mau berbalik melihatku. Huahahahaha.
Mungkin beberapa hari yang lalu dia benar-benar menghancurkan semua anganku. Mungkin beberapa hari yang lalu dia yang menyelipkanku sebuah pilihan lain.  Mungkin beberapa hari yang lalu dia meminta izinku untuk menjadi temannya. Mungkin beberapa hari yang lalu adalah awal baru yang baik antara kisah Tara dan Radit sebagai teman yang bukan sekedar teman sekelas. Tapi nyatanya. Sama saja. Tidak berubah. Haha. Tidak berubah. Kalau tidak berubah ya tidak berubah.
Tapi dengan begitu aku sadar. Aku sudah mulai belajar untuk tidak usah repot-repot menggantung tinggi-tinggi khayalanku, takut nantinya saat aku terhantam oleh sebuah kenyataan, akibatnya akan membuatku jatuh kedalam dasar bumi. Memangnya tidak sakit jatuh dari ketinggian seperti itu? Saya kapok ah.
Tapi. Semuanya memang tidak semudah menghafalkan lirik lagunya Olga Syahputra yang Cuma ‘hancur-hancur hatiku’ itu. Tetap saja sesekali aku akan melirik ke arah bangkunya. Hanya melihat. Itu saja. Kebiasaan yang satu ini memang agak susah dihilangkan, karena ini adalah sebuah kesenangan sendiri ketika mendapati raut wajahnya yang sedang tertawa atau tersenyum. Walaupun sebenarnya hal ini jelas-jelas melanggar aturan. Aku plin-plan ya?.
Ah, seperti hari ini. Dia sedang tertawa. Benar-benar lepas. Ah, ekspresi itu. Mungkin ekspresi itu juga yang mampu melelehkan Merin, ya?. Huumm..
ASTAGA!.
Tumpuhan tanganku yang aku gunakan untuk menopang dagu lepas begitu saja karena kaget setengah mati. Radit menoleh ke arahku, menangkap basah aku yang ternyata sedang memperhatikannya. Tapi dia sedang melambai tuh, mulutnya membuka tanpa suara. Aku mengerutkan dahi, mencoba membaca bahasa bibirnya.
“Nan-ti-pu-lang-se-ko-lah-a-ku-ma-u-ngo-mong”
Tak perlu kukatakan. Kalian semua pun pasti sudah tahu apa reaksi jantungku. Ya, dia berloncatan girang. Tapi aku mencoba mengatur mimik wajahku sewajar mungkin. Aku mengangkat alis dan tersenyum miring sok sinis lalu mengangguk sekenanya. Detik berikutnya aku sudah menyibukkan diri dengan membuka-buka buku paket IPSku resah.
Gawat. Gawat. Gawat. Tolong santai saja. Dia hanya temanmu.
“Kenapa, Ra? Kok kayaknya kamu gupuh gitu? Nggak ada PR IPS kaaaan?” Sarah yang sedang membaca novel terlonjak kaget.
“Ha?!” Aku menyahut—dengan sedikit berteriak sepertinya—kaget. “Emm, nggak ada kok. Nggak. mendadak tadi kepikiran PBB itu didiriin kapan, makanya aku cepet-cepet nyari hahaha, kalo nggak gitu aku nggak tenang hehehe..”
“Yaelaaah.. kirain apaan. Bikin kaget aja..”
Aku tersenyum garing.
‘KRING KRING KRING’
Bel masuk! Fyuuh syukurlah. Perlahan detak jantungku mulai berdetak normal kok. Normal.
***
Yak! Pulang sekolah. Aku tidak akan menghampirinya dan bertanya ‘ada perlu apa?’ hahaha. Biarlah aku keluar kelas dengan tak acuh. Toh, kalau dia memang butuh dia yang akan mencari, haha.
“Ra! Yee.. mau kemana? Kan aku udah bilang mau ngomong sama kamu..”
Oke. Seandainya ini adegan sinetron, pasti backsoundnya sudah mengalun waktu tangan Radit menyambar tanganku cepat saat aku melangkahkan satu kakiku di area luar kelas. Aku berbalik, merutuk pelan. Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggaman Radit. Itu.. terlalu berlebihan. Tidak baik untuk jantung dan fungsi otakku.
“Ada apa?” Tanyaku singkat.
“Eeee, jangan disini deh. Masih ada anak-anak. Dii.. luar aja yuk!”
“Lah, sama aja, Dit—Wooo! Heei!”.
Haaa! Payah. Kenapa sekarang kamu malah menarikku?. Kamu ini tidak mengerti ya apa efek sampingnya? Kau ingin merobohkan pertahananku lantas membunuhku dengan hasil mati-karena-deg-deg-an.
Berlebihan ya?. *krik.
“Ya, terus ada apa?” Aku melepas paksa tanganku dari genggamannya saat kita sudah tiba di koridor yang cukup sepi.
“Ah, jangan galak-galak kek..”
Aku tersenyum ingin tertawa, merasa bodoh sendiri. Kenapa harus begitu ketus di depan dia, lihat ekspresi Radit yang tak biasa itu! Hahaha, “Iyaa iyaa.. hehe. Emang kamu mau ngomong apa sih?”
“Emmm.. kita kan temen ya, Ra..”
JLEB. “Uh-huh..” Aku mengangguk.
“Jadi, sebenernya.. akhir-akhir ini Matematikaku makin kacau. Bisa.. minta tolong jelasin ke aku nggak? Yaa.. minimal bab buat ulangan harian lusa besok lah, Ra.. yaa??”
“Heee??”
“Iyaa, eee.. gimana ngomongnya ya. Nggak tahu semalem tiba-tiba aku dapet wangsit, Ra! Kalau ternyata aku buang-buang waktu kalo sekolah daan.. aku pengen nyoba belajar gitu. Aku nggak bakal minta tolong temen-temen aku ntar jadinya malah nggak serius, jadii.. pilihanku jatuh kepada kamu..” Jelasnya dengan raut wajah yang baru kali ini aku lihat, entahlah terlihat.. tulus tapi.. malah tampak seperti bukan dia.
Jujur. Sebenarnya aku senang bila harus membantu dia. Masalahnya adalah... okelah aku memang paham bahan-bahan ulangan harian untuk lusa besok. Tapi.. aku tidak bisa mengajari orang. Aku Nggak telaten gitu. Iya saya memang nggak bakat jadi guru bisa dibilang.
“Bo-boleh aja sih.. tapi...”
“Beneran, Ra?? Wohooo!! Yeaah!”
“Tapi...”
“Mulai sekarang bisa nggak? Kan ulangan hariannya lusa, Ra.. ini danger banget”
Haduh. Kau ini tidak mendengarkanku ya?. “Tapi.. a-aku kan dijemput. gimana dong. Bentar lagi juga dijemput..”
“Rumah kamu jauh nggak sih?”
“L-lumayan..”
“Nah, ntar aku anter deh. Yaa.. please?. Tapi aku naik sepeda sih nggak apa kan? Ntar aku bonceng, kamu tinggal berdiri di jalunya. Gimana?”
“Eee, nggak apa sama cewekmu?”
“Haa? Nggak apa laaah.. dia ngerti kok kalau kamu Cuma temen aku haha..”
Oke. Itu. Sedikit. Menyakitkan. “Eeee, apa boleh buat.. bentar deh aku sms kakakku dulu ya,” Aku tersenyum tipis kearahnya. Anak ini ada-ada saja sih.
***
“Ini sama ini di substitusi gitu.. ntar baru deh dihitung biasa pake sistem persamaan. Mudeng nggak, Dit?”
“Hng..”
“Hadeeh..” Aku menepuk dahi sendiri. Saya memang tipe-tipe yang nggak sabaran kalau orang yang saya ajarin nggak mudengan. Nggak peduli siapapun itu, “Udah gini deh.. tadi kan udah aku contohin, trus dibuku kan ada contohnya juga, sekarang kamu coba kerjain dulu nomer satu sesuai step-step contohnya.. ntar kalau udah bisa dicoba lagi ke nomer selanjutnya.. pasti ntar hafal-hafal sendiri kok. Matematika itu kudu banyak latihan..” Aku mendorong buku paketnya kearahnya.
“Ohh oke. Sepertinya mudah..”
Aku mengangkat sebelah alis. Lalu menunggu dia selesai mengerjakan, aku hanya akan memperhatikannya kali ini, membiarkan dia mencoba menyelesaikan soal-soal itu sendiri. Masa’ sudah sebesar ini nggak bisa belajar, ngapain saja dia sekolah selama ini?.
Tapi. Tunggu deh. Baru kali ini aku melihat ekspresi dia yang serius menghitung begini. Hahahaha.
Eh?? Apa?? STOP. STOP.
Bukan. Bukan. Jangan macam-macam. Radit Cuma teman yang sedang aku bantu ya. Teman.
“Teman..” gumamku pelan sekali, sambil tersenyum meliriknya yang masih sibuk menggumamkan angka-angka dengan melipat jari-jarinya.
***
“Makasih ya, Radit dianterin pulang lagi, hehehe..”
“Ah, nggak apa-apa.. harusnya aku yang makasih dua hari ini sudah mau ngajarin aku private.. hehehe..”
“Hehe, sama-sama. Aku seneng kalau bisa bantu orang. Besok kan ulangan hariannya, jam pertama pula. Makanya ntar malem belajar jangan pacaran muluu, hahaha..”
“DUAR! Ah, kena deh gue!”
“Hahaha, alay kau..”
“Ya udah aku balik ya. Dadaaah Taraaa..”
Aku melambai. Mengetuk-ngetuk gembok pagar rumahku dengan senandung kecil. Ya, sudah dua hari ini aku seperti ini. Tidak buruk kan?.
Besoknya ulangan harian dilaksanakan. Yah, aku menjawabnya semampuku. Sebenarnya sama saja, tapi entahlah selalu saja ada beberapa cara yang aku blank nggak inget. Ngomong-ngomong kenapa ya blank itu datengnya pas ulangan-ulangan gini? Perasaan pas pelajaran-pelajarn biasa sampai aku mengajari Radit, inget-inget aja tuh.
Yah, jadi aku jawab saja sekenanya. Mengandalkan logika. Usai sekolah hari ini aku melihat Radit melambai kepadaku dari bangkunya. Tertawa. Aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya dia melambai, tapi aku senang.
Tahu tidak? Akhir-akhir ini aku sudah terbiasa lho. Setiap bersamanya, melihat tawanya ataupun merasakan tangan kami yang bersentuhan dengan tidak sengaja pun tidak akan membuatku deg-degan lagi. Aku juga tidak mengerti. Sudah terbiasa. Itu saja. Aku lebih banyak tersenyum padanya. Aku nyaman bersamanya.
Walaupun kedekatan Radit dengan aku hanya bisa dilihat sampai kemarin saja tapi rasanya aku lebih berlapang dada. Aku.. mengikhlaskan dia, eh?. Haha, bukan. Aku begini karena mungkin memang sudah biasa saja. Aku tahu Radit menyayangi orang yang baik. Lihat, aku bisa tersenyum sekarang melihat Merin menggantikan posisiku beberapa hari yang lalu di jalu sepeda itu.
Karena aku sadar. Tidak ada buruknya hanya menjadi teman seorang Radit. Tidak ada teori yang menyebutkan hubungan yang paling baik adalah berpacaran kan?. Jadi aku mulai menikmati hubungan ini. Berteman dengannya adalah jalan yang paling baik.
“Tara! Ulangan harianmu dapet berapa?”
“Hn? Emang kamu berapa hehehe..”
“Aku 82 doongg!! Baru kali ini lho! Hahahaha.. beneran deh ini murni tanpa nyontek! Swear.. berkat kamu ajarin nih Ra.. thanks ya!”
“Bukan karena aku, tapi karena usaha kamu sendiri, Dit. Kan kamu yang pengen banget bisa paham materi itu aku mah Cuma figuran doang istilahnya..”
“Tapi kalau nggak ada arahan kamu aku nggak mungkin bisa belajar dengan bener, Taraaa..”
“Ya, aku nggak akan bantuin kamu kalau kamu nggak minta kan?” Aku senyum lebar, dia berdecak “Hahaha.. tapi percuma lho, Dit kalau kamu belajarnya Cuma kemaren doang.. ntar yang ada besok-besok lupa lagi rumusnya. Sekarang kalau kamu emang serius, coba terapin kebiasaan rajin belajar ke pelajaran-pelajaran yang lain.. hehe. Halah sok tua ya aku? Padahal sendirinya juga males wahahahaha...”
“Hahahaha, iya sih.. ya semoga lah. Insya Allah.. hehe..” Dia senyum tipis, “Eh, kamu belum jawab pertanyaan aku lho, Ra. Kamu dapet berapa?”
“90 hehehehe...”
“Hwooo! Kebakaran..” dia bersorak heboh, “ck ternyata belum bisa ngalahin kamu ya, Ra.. wahahaha..” Dia tertawa, aku menyambutnya dengan tawa juga.
Ya, aku terima. Aku terima bila menjadi teman Radit bisa berada sedekat ini dengannya. Bisa tertawa lepas seperti sekarang. Bukan menjadi Tara yang dulu yang Cuma melihatnya dari kejauhan lantas mengeluh, merutuk diri sendiri, menangis terpuruk. Hahaha. Menyedihkan.
Aku senang kok bisa menjadi temannya seperti sekarang. Karena menjadi temannya, bukan lagi senang karena bisa melihatnya tertawa dari kejauhan. Tetapi dengan menjadi temannya aku bisa turut tertawa bersamanya.

-end-

Eyaakk... ehe-he-he-he. Geje ya? Geje ya? Geje ya? Geje ya? Geje ya? Geje ya? *kasetnya rusak* XD.
Err, yaah beginilah adanya.maap kalo emang geje-_-. Harusnya cerpen mah nggak usah ada lanjutannya yak XD haha, tapi pengen aja bikin lanjutannya.. :].
Eh yang kebetulan baca komen dong u.u pegel nih bikinnyaa.. *siapa suruh?* wkwkw..
Ah, nggak ngerti ah harus ngomong apa. Begini adanya. Oh iya! Mohon maaf buat Dinda yang sungguh-sungguh mengharapkan kehadiran pak suto di cerita ini wahaha maaf yaaa.. pak sutonya lagi berhalangan dateng, ada bancaan di kecamatan.. (?).
Okelah terima kasih atas waktunya.
Sayonaraaa~

-GentaRP-




Sekuel: Sayonara
Click the title to read! :D

7 komentar:

  1. ehm, berhubung gw udah agak sedikit tau jalan ceritanya, jadi untuk cerpen kali ini gw lebih menikmati cara penyampaiannya :D

    menurut gw, cerpen ini lebih "kaya" dari cerpen2 sebelumnya. lebih variatif. ah tau ah susah jelasinnya, pokoknya good progress cah!

    BalasHapus
  2. Wuah. horee! makasih kak~ hehehe u,u

    BalasHapus
  3. uwaaaaa kak tataa~~
    aku udah bacaa ~(^O^~)~(^0^)~(~^O^)~
    aku setuju sama kak asrinisa(?) yg ini lebih enak cara penyampaiannya, makin mantep d^o^b
    makin keren deh :D kenapa tara ga jadian sama radit aja sihh-.- bikin greget deh u,u bikin sekuelnya lagi dong ehehe(?)

    BalasHapus
  4. Uwaaa tengkyu Tataaa :D. ih apa tuh sok sok kenal sama kak asrinisa :p.
    Sekuel lagi? eeeeee, idunno.. gak bisa janji :p

    BalasHapus
  5. iyaaaa camaaaaa2..
    --___-- biarin, orangnya aja ga protes :p
    okeh lah, kalo ada bilang2 yah ;)

    BalasHapus
  6. Y, meskipun Q lebih suka yg pertama,, tp, yg ni jg gak kalah kereeeennn !!!!

    dan, entah kenapa, Q sll suka Kata" di endingnya, Hmmm ...
    "Aku senang kok bisa menjadi temannya seperti sekarang. Karena menjadi temannya, bukan lagi senang karena bisa melihatnya tertawa dari kejauhan. Tetapi dengan menjadi temannya aku bisa turut tertawa bersamanya."

    BalasHapus
  7. hehehehe... XD thanks lah kak buat komen-komennya yang di cerpen2 yg lain juga :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...